Wednesday, May 7, 2008

FRANCHISE

KONTRAK BISNIS WARALABA (FRANCHISE):
ALTERNATIF PENGEMBANGAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DI ERA GLOBAL
(SUATU KAJIAN YURIDIS)

ABSTRAK

Di era global yang ditandai dengan perdagangan bebas, muncul beragam cara pengembangan usaha baik melalui perdagangan maupun investasi. Salah satu cara pengembangan bisnis atau usaha dapat dilakukan melalui waralaba (franchise). Sebagai negara yang telah menandatangani Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (WTO) atau Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia, bisnis waralaba (franchise) asing maupun lokal merebak di Indonesia. Paper ini selanjutnya bertujuan untuk memaparkan mengenai aspek hukum (kontrak) dalam bisnis waralaba (franchise) serta pengembangan waralaba (franchise) sebagai bentuk kerjasama kemitraan untuk menumbuh kembangkan usaha kecil dan menengah dengan menitikberatkan pada aspek yuridis. Ketentuan yang mengatur mengenai usaha waralaba (franchise) di Indonesia sebenarnya telah cukup memadai. Selain itu dengan karakteristiknya yang khas, yaitu dukungan pemasaran dan operasional, dukungan untuk memulai usaha, dukungan selama beroperasi, dan ketersediaan pelatihan dan tenaga-tenaga ahli, alih teknologi serta alih manajemen dari Pemberi Waralaba (franchisor), bentuk kerjasama waralaba (franchise) ini dapat digunakan sebagai alternatif untuk menumbuhkembangkan usaha kecil dan menengah di Indonesia.

Paper ini berusaha untuk memaparkan mengenai salah satu fenomena globalisasi dalam bidang ekonomi khususnya dalam pengembangan investasi dan bisnis yang dilakukan dengan cara franchising (waralaba). Dengan adanya transformasi atau perubahan yang bersifat global di bidang investasi, dapatkah bisnis waralaba (franchise) ini dijadikan sebagai alternatif kerjasama kemitraan antara pemilik waralaba (franchise) yang umumnya dikuasasi oleh pengusaha besar dengan penerima waralaba (franchise) sebagai upaya untuk menumbuhkembangkan usaha kecil dan menengah di Indonesia ? Sehubungan dengan hal tersebut, maka paper ini akan mendeskripsikan mengenai aspek hukum terutama hukum kontrak bisnis waralaba (franchise) serta pengembangan waralaba (franchise) sebagai bentuk kerjasama kemitraan untuk menumbuh kembangkan usaha kecil dan menengah, dengan kajian yuridis.
Sebelum menjawab permasalahan utama yang diangkat dalam paper, akan dipaparkan beberapa hal yang menurut penulis cukup penting untuk dikemukakan sebagai gambaran umum baik mengenai kontrak dalam bisnis waralaba (franchise) dan perkembangannya dalam era global, maupun beberapa pengaturan serta pengertian-pengertian mengenai pengembangan usaha kecil dan menengah di Indonesia dengan cara waralaba (franchise).

A. PENDAHULUAN

Globalisasi adalah salah satu kata yang sangat sering disebut dalam diskursus di ruang publik serta studi mengenai transfomasi atau perubahan sosial yang terjadi saat ini. Meskipun tidak dapat menggambarkan seluruh fenomena baru yang ada, globalisasi saat ini sering dilukiskan sebagai penyusutan atau pemampatan terhadap ruang dan waktu yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang mencerminkan peningkatan interkoneksi serta interdependensi sosial, politik, ekonomi, dan kultural masyarakat dunia.
Euforia mengenai globalisasi ini menjalar secara perlahan dan mulai mempengaruhi seluruh aspek kehidupan manusia sehubungan dengan peningkatan serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sehubungan dengan hal tersebut, kajian-kajian ekonomi mengenai globalisasi kemudian menyampaikan pandangan bahwa esensi dari globalisasi adalah mengenai ‘meningkatnya’ keterkaitan ekonomi nasional melalui perdagangan, aliran keuangan dan penanaman modal atau investasi asing secara langsung (foreign direct investment).1
Seiring dan sejalan dengan perkembangan globalisasi, dunia perdagangan dan dunia bisnis juga ikut berkembang. Dalam dunia bisnis misalnya, globalisasi tidak hanya sekedar berdagang di beberapa negara di dunia, tetapi berdagang di seluruh dunia dengan cara baru yang menjaga keseimbangan antara kualitas global dari produksi dengan kebutuhan khas yang bersifat lokal dari konsumen2.
Beragam cara untuk pengembangan usaha melalui perdagangan maupun investasi yang bertujuan untuk meningkatkan tingkat perekonomian,juga berkembang. Salah satu cara pengembangan bisnis atau usaha dapat dilakukan melalui franchise. Kerjasama bisnis franchise merupakan suatu pola yang berkembang pesat baik di bidang perdagangan barang maupun jasa.
Pengembangan usaha melalui franchise ini dalam beberapa tahun terakhir mulai diterapkan oleh di Indonesia. Sampai dengan bulan Maret 1996 misalnya diperkirakan telah beroperasi 119 (seratus sembilan belas) franchise asing, sedangkan untuk franchise lokal sekitar 32 (tiga puluh dua) perusahaan3. Berdasarkan studi yang dilakukan suatu konsultan waralaba, pertumbuhan waralaba nasional atau lokal dari tahun 1991 sampai tahun 1996 rata-rata 10,47 persen/tahunnya, sedangkan pertumbuhan waralaba asing meroket rata-rata 376,6 persen/tahun. Namun setelah memasuki krisis moneter secara akumulatif, terjadi penurunan yang sangat drastis pertumbuhan waralaba asing menjadi 7,67 persen, sebaliknya pewaralaba lokal tumbuh rata-rata 9,84 persen pertahunnya4.
Perkembangan bisnis dengan franchise (waralaba) terutama waralaba asing di Indonesia sulit untuk dihindari karena Indonesia telah menandatangani Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (WTO) atau Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1994, sehingga negara kita menjadi terbuka baik bagi penanaman modal asing maupun pengembangan bisnis asing.
Franchise merupakan kerjasama bisnis dan secara teknis dapat dipahami sebagai suatu metode perluasan pasar yang digunakan oleh sebuah perusahaan yang dianggap sukses dan berkehendak memperluas distribusi perdagangan barang atau jasa melalui unit-unit bisnis eceran yang dijalankan oleh pengusaha-pengusaha independen dengan menggunakan merek dagang atau merek jasa, teknik pemasaran dan berada di bawah pengawasan dari perusahaan biasanya dengan imbalan pembayaran fee dan royalties. Selain persoalan-persoalan yuridis, ada hal lain yang lebih diutamakan dalam bisnis franchise yaitu jaminan bahwa para pihak secara bisnis dapat diandalkan untuk bekerjasama, kemampuan managerial serta bonafiditas untuk bersama-sama membangun kerjasama bisnis.
Istilah franchise sendiri untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Isaac Singer pada tahun 1851. Secara umum franchise atau waralaba (di Indonesia digunakan istilah waralaba) berarti suatu persetujuan dari pemilik suatu produk atau jasa tertentu yakni Pemberi Waralaba yang memberikan hak kepada pihak lain untuk mempergunakan atau memasarkan produk atau jasa tersebut dengan persyaratan tertentu.5
Dipilihnya sistem waralaba sebagai alternatif membuka bisnis atau investasi baru adalah untuk menekan biaya yang diperlukan dalam memulai usaha. Dengan pertimbangan produk atau jasa tersebut biasanya telah terbukti kualitasnya, dikenal, dan telah memiliki pangsa pasar yang jelas, diharapkan resiko kegagalan usaha dapat dikurangi. Terlebih lagi, untuk kegiatan-kegiatan operasional, penerima waralaba memperoleh dukungan pemasaran dan operasional termasuk didalamnya dukungan untuk memulai usaha, dukungan selama beroperasi, dan ketersediaan pelatihan dan tenaga-tenaga ahli dari Pemberi Waralaba.
Sebelum membahas mengenai bisnis waralaba (franchise) sebagai alternatif pengembangan usaha kecil dan menengah, maka di bawah ini akan dipaparkan mengenai aspek hukum (kontrak) bisnis waralaba (franchise).

B. ASPEK HUKUM (KONTRAK) BISNIS WARALABA (FRANCHISE)

B.1. Definisi Waralaba (Franchise)
Dictionary of Business Terms mendefinisikan usaha franchise sebagai berikut :
Suatu izin yang diberikan oleh sebuah perusahaan (franchisor) kepada seseorang atau kepada suatu perusahaan (franchisee) untuk mengoperasikan suatu outlet retail, makanan atau supermarket di mana pihak franchisee setuju untuk menggunakan milik franchisor berupa nama, produk, servis, promosi, penjualan, distribusi, metode untuk display, dan lain-lain hal yang berkenaan dengan company support.
Hak untuk memasarkan barang-barang atau jasa perusahaan (company’s goods and service) dalam suatu wilayah tertentu. Hak tersebut telah diberikan oleh perusahaan kepada seseorang atau kelompok individu, kelompok marketing, pengecer atau grosir6.

Dalam Ensiklopedia Nasional Indonesia pengertian franchising atau sistem franchise adalah sebagai berikut :
Suatu bentuk kerjasama manufaktur atau penjualan antara pemilik franchise dan pembeli franchise atas dasar kontrak dan pembayaran royalty. Kerjasama ini meliputi pemberian lisensi atau hak pakai oleh pemegang franchise yang memiliki nama atau merek, gagasan, proses, formula, atau alat khusus ciptaannya kepada pihak pembeli franchise disertai dukungan teknis dalam bentuk manajemen, pelatihan, promosi, dan sebagainya. Untuk itu, pembeli franchise membayar hak pakai tersebut disertai royalty, yang pada umumnya merupakan prosentase dari jumlah penjualan.7

Dalam Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 1997 tentang Waralaba disebutkan bahwa waralaba adalah perikatan dimana salah satu pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan pihak lain tersebut, dalam rangka penyediaan dan atau penjualan barang dan atau jasa.
Dalam PP No. 17 Tahun 1997 tentang Waralaba tersebut disebutkan pula bahwa Pemberi Waralaba (franchisor) adalah badan usaha atau perorangan yang memberikan hak kepada pihak lain untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimilikinya; sedangkan Penerima Waralaba (franchisee) adalah badan usaha atau perorangan yang diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas yang dimiliki Pemberi Waralaba.
Berdasarkan PP 17 Tahun 1997 disebutkan bahwa Waralaba diselenggarakan berdasarkan perjanjian tertulis antara Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba, di mana perjanjian Waralaba dibuat dalam bahasa Indonesia dan terhadapnya berlaku hukum Indonesia.
Dari beberapa definisi mengenai franchise, dapat dilihat bahwa setiap model perjanjian franchise sekurang-kurang memuat unsur-unsur sebagai berikut:
adanya perjanjian atau perikatan antara dua pihak, yaitu pihak pemberi waralaba (franchisor) dan pihak penerima waralaba (franchise).
pihak franchisor memberikan suatu hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimilikinya kepada pihak franchisee yang berupa nama, produk, servis, promosi, penjualan, distribusi, metode untuk display, dan lain-lain hal yang berkenaan dengan company support.
pihak franchisee memiliki kewajiban untuk memberikan imbalan;
perjanjian atau perikatan dilakukan dalam rangka penyediaan barang atau jasa;
adanya syarat-syarat lain yang harus dipenuhi masing-masing pihak.8

Dengan demikian sesungguhnya karakteristik bisnis waralaba ini akan berhubungan tidak saja dengan hukum perjanjian tetapi juga berhubungan dengan hak cipta, paten dan merek, aspek hukum ketenagakerjaan, aspek hukum perpajakan, rahasia dagang, bahkan aspek hukum perdata internasional bila salah satu pihak berasal dari luar Indonesia.

B.2. Jenis-Jenis Waralaba (Franchise)

Jenis-jenis usaha franchise dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu :
franchise format bisnis, yang terdiri dari franchise pekerjaan, franchise usaha dan franchise investasi;
franchise distribusi pokok.
Untuk franchise format bisnis, seseorang pemegang franchise (franchisee) memperoleh hak untuk memasarkan dan menjual produk atau pelayanan dalam suatu wilayah atau lokasi yang spesifik dengan menggunakan standar baik dalam operasional usaha maupun pemasaran. Ada 3 (tiga) jenis format bisnis franchise, yaitu :
franchise pekerjaan :
franchise yang menjalankan usaha pekerjaan adalah usaha franchise yang memberikan dukungan untuk usahanya sendiri. Sebagai contoh misalnya menjual jasa penyetelan mesin mobil dengan merek tertentu. Bentuk franchise ini paling murah dan umumnya hanya membutuhkan modal kecil karena tidak menggunakan temapt dan perlengkapan yang berlebihan.
franchise usaha :
franchise usaha adalah jenis franchise yang paling berkembang. Bentuknya dapat berupa toko eceran yang menyediakan barang atau jasa, atau restoran cepat saji (fast food). Biaya yang dibutuhkan untuk franchise jenis ini biasanya lebih besar karena dibutuhkan tempat usaha yang memenuhi kriteria yang diwajibkan oleh pemberi franchise (waralaba).
franchise investasi :
franchise investasi adalah jenis franchise yang paling banyak membutuhkan biaya atau modal (nilai investasi yang besar). Perusahaan yang mengambil franchise investasi biasanya ingin melakukan diversifikasi usaha namun kurang berpengalaman dalam pengelolaan manajemen. Contoh usaha franchise ini adalah usaha perhotelan yang hendak menggunakan nama dan standar pelayanan hotel milik franchisor.

Jenis franchise distribusi pokok adalah jenis franchise dengan memberikan lisensi untuk memasarkan produk dari suatu perusahaan tunggal dalam lokasi tertentu yang ditentukan (sub-franchise). Dalam hal ini franchisee membeli hak untuk mengoperasikan atau menjual franchise di wilayah (geografis) tertentu dan bertanggung jawab atas beberapa atau seluruh pemasaran franchise, melatih atau membantu franchisee baru serta melakukan pengendalian, dukungan operasional serta penagihan royalty.

B.3. Karakteristik Bisnis Waralaba (Franchise)
Bisnis waralaba (franchise) memiliki beberapa karakteristik tertentu. Karakteristik ini sesungguhnya yang menyebabkan bisnis dengan model franchise dirasakan cukup menguntungkan.
Karakteristik tersebut misalnya mengenai keunikan produk, adanya pelatihan manajemen dan ketrampilan khusus yang wajib diberikan franchisor kepada franchisee, pengendalian dan penyeragaman mutu produk, promosi dan periklanan oleh franchisor, pemilihan lokasi serta daerah pemasaran yang eksklusif, sebagian bisnis franchise mendapatkan bantuan pendanaan dari pihak franchisor atau lembaga keuangan, adanya fee atau royalty yang harus dibayarkan oleh franchisee pada franchisor, didaftarkannya merek dagang, paten atau hak cipta serta pembelian produk langsung dari franchisor.

B.4. Biaya-biaya yang Timbul dalam Usaha Waralaba (Franchise)
Ada beberapa biaya yang timbul dari pelaksanaan perjanjian franchise ini. Biaya-biaya tersebut antara lain adalah :
Royalty.
Royalty adalah pembayaran yang harus dilakukan oleh pihak franchisee kepada franchisor sebagai imbalan dari pemakaian hak franchise oleh franchisee.
Franchise fee.
Franchise fee merupakan pembayaran atas biaya franchise. Biasanya pembayaran ini dilakukan untuk jumlah tertentu yang pati dan dilakukan sekaligus dan dibayarkan pada tahap bisnis franchise akan dimulai atau pada saat penandatanganan akta perjanjian franchise.
Direct expenses.
Direct expenses merupakan biaya langsung yang harus dikeluarkan oleh franchisee sehubungan dengan pengoperasian suatu usaha franchise, misalnya biaya pelatihan manajemen atau ketrampilan tertentu.
Marketing dan advertising fees.
Marketing atau advertising fees adalah biaya yang harus dikeluarkan untuk memasarkan atau mempromosikan bisnis franchise.
Assignment fees.
Biaya yang lain adalah biaya Assignment fees yang harus dibayarkan oleh franchisee kepada franchisor bila akan mengalihkan bisnisnya kepada pihak lain. Biaya ini biasanya meliputi biaya untuk membuat perjanjian penyerahan serta pelatihan pemegang franchise yang baru karena pengalihan bisnis.9

B.5. Dasar Hukum dalam Bisnis Waralaba (Franchise)

Karena bisnis atau usaha waralaba (franchise) adalah salah satu jenis usaha yang dilakukan dengan suatu perjanjian atau perikatan, maka dasar hukum untuk beroperasinya dalam hal ini adalah pasal–pasal dalam KUH Perdata yang mengatur mengenai perikatan-perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau perjanjian.
Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata menegaskan mengenai berlakunya asas kebebasan berkontrak (beginsel der contractvrijheid), yaitu semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya (pacta sunt servanda). Walaupun Pasal 1338 mengatur mengenai asas kebebasan berkontrak namun dalam ditegaskan pula bahwa walaupun para pihak sebenarnya bebas membuat suatu kontrak atau perjanjian, namun perjanjian tersebut tidak boleh bertentangan dengan hukum positif, kepatutan dan ketertiban umum.
Sedangkan untuk sahnya suatu kontrak atau perjanjian berlaku Pasal 1320 KUH Perdata. Mengenai syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu adanya kesepakatan antara para pihak, dilakukan oleh orang yang cakap hukum, adanya hal atau obyek tertentu dan adanya suatu causa atau sebab yang halal.10
Sehubungan dengan kontrak waralaba, Syahmin AK menyatakan bahwa karena kontrak waralaba (franchising agreement) nantinya akan mengikat, baik bagi franchisor maupun bagi franchisee, maka menurutnya sangat penting bagi franchisor maupun franchisee untuk mengatur kontrak secara lebih terperinci.11
Usaha waralaba (franchise) selalu berkaitan dengan merek, paten dan hak cipta karena franchise pada dasarnya menggunakan izin atau lisensi merek dagang, paten atau hak cipta dari franchisor. Dengan demikian, atas penggunaan lisensi tersebut, pihak franchisee mempunyai kewajiban untuk membayar fee atau royalty pada pihak franchisor. Selain itu, bisnis waralaba (franchise) juga tunduk pada peraturan perundang-undangan yang lain di Indonesia seperti undang-undang Perseroan Terbatas bila usaha waralaba (franchise) tersebut berbentuk PT, hukum ketenagakerjaan, hukum perpajakan, hukum perlindungan konsumen serta peraturan-peraturan lain yang terkait dengan izin usaha, izin Undang-Undang Gangguan (hinderordonantie) dsb.
Untuk pendaftaran usaha waralaba dalam Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 12/M-DAG/PER/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba Penerima Waralaba harus memiliki Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba (STPUW). Untuk mendapatkan STPUW tersebut, Penerima Waralaba harus mendaftarkan perjanjiannya di Departemen Perdagangan. Dalam hal Penerima Waralaba lalai untuk melakukan pendaftaran setelah diberikan 3 (tiga) kali peringatan, maka Surat Izin Usaha Perdagangannya (SIUP) atau ijin-ijin usaha sejenis milik Penerima Waralaba dapat dicabut.

B.6. Kewajiban Para Pihak

Sesuai dengan perjanjian yang dibuat oleh pihak franchisor dan franchisee, pada dasarnya kewajiban franchisor hanyalah berupa penyediaan atau pemberian hak kepada franchisee untuk menggunakan merek dagang, identitas perusahaan, atau memasarkan dan menjual produk atau jasanya untuk waktu dan tempat tertentu sebagaimana disepakati dalam perjanjian franchise. Kewajiban lain yang dimiliki franchisor adalah :
melakukan pembinaan terhadap usaha yang dijalankan franchisee baik secara operasional, manajemen maupun keuangan.
memberikan pedoman operasi usaha franchise yang dijalankan dan disepakati para pihak.

Untuk kewajiban pokok franchisee, utamanya ada 2 (dua) macam yaitu :

membayar fee atau jasa kepada franchisor atas penggunaan nama merek dagang atau identitas usaha franchisor.
menjaga kualitas dan nama baik (brand image) franchisor.

Selain dua kewajiban pokok tersebut, franchisee masih memiliki berbagai kewajiban yang disertakan dalam klausul-klausul kontrak franchise misalnya memberikan laporan atas kegiatan usaha, kewajiban mengikuti standar operasi dan spesifikasi yang telah ditentukan franchisor serta kewajiban-kewajiban lainnya.

B.7. Beberapa Klausula Penting dalam Bisnis Waralaba (Franchise)

Dalam Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 12/M-DAG/PER/3/2006 diatur sedikitnya beberapa klausula yang harus dimuat dalam suatu perjanjian waralaba (franchise). Klausul dalam perjanjian waralaba tersebut harus memuat paling setidaknya :
Nama dan alamat perusahaan para pihak;
Nama dan jenis Hak Kekayaan Intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha seperti sistem manajemen, cara penjualan atau penataan atau distribusi yang merupakan karakteristik khusus yang menjadi Objek Waralaba;
Hak dan kewajiban para pihak serta bantuan dan fasilitas yang diberikan kepada Penerima Waralaba;
Wilayah usaha (zone) Waralaba;
Jangka waktu perjanjian;
Perpanjangan, pengakhiran dan pemutusan perjanjian;
Cara penyelesaian perselisihan;
Tata cara pembayaran imbalan;
Pembinaan, bimbingan dan pelatihan kepada Penerima Waralaba.

Selain klausul tersebut, dalam Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 12/M-DAG/PER/3/2006 diatur bahwa sebelum membuat perjanjian, Pemberi Waralaba wajib memberikan keterangan tertulis atau prospektus mengenai data atau informasi usahanya dengan benar kepada Penerima Waralaba yang paling sedikit memuat :
Identitas Pemberi Waralaba, berikut keterangan mengenai kegiatan usahanya termasuk neraca dan daftar rugi laba 1 (satu) tahun terakhir;
Hak Kekayaan Intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang menjadi objek waralaba disertai dokumen pendukung;
Keterangan tentang kriteria atau persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi Penerima Waralaba termasuk biaya investasi;
Bantuan atau fasilitas yang diberikan Pemberi Waralaba kepada Penerima Waralaba;
Hak dan Kewajiban antara Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba; dan
Data atau informasi lain yang perlu diketahui oleh Penerima Waralaba dalam rangka pelaksanaan perjanjian Waralaba.

Menurut Johannes Ibrahim, hal penting yang harus diperhatikan dalam membuat perjanjian atau klausul-kausul dalam waralaba (franchise) adalah masalah kecermatan agar kerjasama bisnis yang dijalankan dapat menguntungkan kedua belah pihak secara seimbang. Dengan mensitasi pendapat salah satu pakar bisnis waralaba (franchise) Martin Mandelson, dinyatakan bahwa ciri-ciri fundamental, karakteristik serta syarat-syarat suatu transaksi harus tetap dijaga. Sekali keutuhan konsep dan sistem yang telah di-franchise-kan dirusak, maka masa depan pengembangan franchise akan penuh dengan resiko.12

C. PERJANJIAN (KONTRAK) STANDAR DALAM BISNIS WARALABA

Salah satu permasalahan yang timbul dalam pembuatan perjanjian waralaba dalah pembuatan perjanjian (kontrak) dengan bentuk standar atau baku, --karena dalam prakteknya perjanjian waralaba (franchise) hampir selalu dibuat dalam bentuk perjanjian standar dengan klausula baku--, mengingat perjanjian ini selalu berkaitan dengan permohonan pihak penerima waralaba (franchisee) untuk dapat menggunakan merek dagang dari pemberi waralaba (franchisor). Penggunaan bentuk perjanjian standat dengan klausula baku ini terutama berkaitan dengan kedudukan pemberi waralaba (franchisor) yang harus memproteksi hak-hak istimewanya baik menyangkut merek dagang, hak paten maupun rahasia dagang yang dimiliki pihak pemberi waralaba (franchisor).
Dengan digunakannya bentuk perjanjian standar dengan klausula baku tersebut, umumnya memang kedudukan para pihak dalam perjanjian waralaba (franchise) menjadi kurang seimbang, di mana kedudukan franchisor cenderung lebih kuat atau dominan daripada kedudukan franchisee.
Perjanjian standar atau perjanjian baku dialihbahasakan dari istilah Bahasa Belanda standard voorwaarden, di Jerman digunakan istilah allgemeine geschafts bedingun, sedangkan di Inggris digunakan istilah standard contract atau sering karena sifat massal dan kolektifnya dinamakan sebagai take it or leave it contract.13 Pada umumnya model perjanjian dengan perjanjian standar ini sudah menjadi kebiasaan dalam masyarakat karena sangat dibutuhkan dalam dunia bisnis.
Mengenai perjanjian standar, Treitel memberikan definisi sebagai :
The terms of many contracts are set out in printed standard forms which are used for all contracts of the same kind, and are only varied so far as the circumstances of each contracts require dengan terjemahan sebagai berikut : syarat-syarat dalam perjanjian yang ditampilan dalam bentuk formulir yang dicetak dalam bentuk baku yang digunakan untuk semua perjanjian yang sama jenisnya, dan hanya berbeda sepanjang diperlukan oleh suatu keadaan.14

Hondius merumuskan perjanjian baku sebagai sebuah konsep perjanjian tertulis yang disusun tanpa membicarakan isinya dan lazimnya dituangkan ke dalam sejumlah perjanjian tidak terbatas yang sifatnya tertentu. Selanjutnya Mariam Darus Badrulzaman menjelaskan bahwa perjanjian baku adalah perjanjian yang di dalamnya dibakukan syarat eksenorasi dan dituangkan dalam bentuk formulir.15
Sehubungan dengan pengertian yang diungkapkan Mariam Darus Badrulzaman di atas, yang dimaksud dengan klausula eksenorasi adalah klausul yang dicantumkan dalam suatu perjanjian yang mana satu pihak menghindarkan diri untuk memenuhi kewajibannya membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas yang disebabkan karena wanprestasi atau perbuatan melawan hukum16. Jadi syarat eksenorasi sendiri adalah syarat-syarat dalam suatu perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya dalam perjanjian tersebut.17
Dari apa yang diungkapkan di atas, maka dapat dilihat bahwa perjanjian standar memiliki beberapa ciri tertentu yaitu bentuk perjanjian tertulis, format perjanjian yang sudah distandarisasi, syarat-syarat yang sudah ditentukan sebelumnya (umumnya oleh satu pihak), pihak lain hanya dapat menerima atau menolak perjanjian tersebut, terkadang ada pembebanan tanggungjawab hanya pada satu pihak.
Banyak ahli hukum menilai perjanjian standar sebagai perjanjian yang tidak sah, cacat, dan bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak, tetapi dalam realitanya perjanjian standar sangat dibutuhkan dalam dunia bisnis dengan alasan efisiensi dalam pengeluaran biaya, tenaga dan waktu dan sudah banyak berlaku dalam masyarakat sebagai suatu kebiasaan.
Dari apa yang diungkapkan di atas, pertanyaan penting yang harus terjawab sehubungan dengan penggunaan perjanjian standar dalam bisnis waralaba (franchise) adalah apakah perjanjian baku memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian, antara lain untuk memenuhi asas kebebasan berkontrak?
Seperti sudah disebutkan di atas, pasal 1320 KUH Perdata menetapkan 4 (empat) syarat untuk sahnya suatu perjanjian yaitu adanya kesepakatan antara para pihak, dilakukan oleh orang yang cakap hukum, adanya hal atau obyek tertentu dan adanya suatu causa atau sebab yang halal. Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri adalah asas yang esensial dalam hukum perjanjian sehingga asas ini disebut juga dengan asas konsesualisme yang menentukan adanya raison d’etre atau het bestaanwaarde perjanjian. Asas konsensualisme ini mengandung arti ‘kemauan’ atau will para pihak untuk saling berprestasi, saling mengikatkan diri atau dengan kata lain pacta sund servanda yaitu bahwa janji itu mengikat dan harus dipenuhi (promisorum impledorum obligation). Asas ini mempunyai hubungan erat dengan asas kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. 18
Kita melihat bahwa dalam perjanjian waralaba (franchise) memang ada perbedaan posisi para pihak --apabila perjanjian dibuat secara standar--, di mana posisi penerima waralaba (franchisee) cenderung lebih lemah dan terkadang kurang memiliki posisi tawar atau real bargaining dengan pihak pemberi waralaba (franchisor). Dengan demikian apakah hal ini melanggar asas kebebasan berkontrak?
Mengenai hal ini ada dua paham yang memberikan jawaban. Sluijter misalnya mengatakan bahwa perjanjian baku bukanlah perjanjian, sebab kedudukan para pihak tidak seimbang di mana kedudukan pengusaha (dalam hal ini franchisor) seperti pembentuk undang-undang swasta (legio particuliere wetgever), sehingga syarat-syarat yang ditentukan dalam perjanjian tersebut adalah undang-undang bukan perjanjian. Namun paham lain mengatakan sebaliknya. Pitlo misalnya mengatakan sebagai perjanjian paksa (dwang contract), walaupun secara teoritis yuridis perjanjian baku ini tidak memenuhi ketentuan undang-undang dan oleh ahli hukum ditolak, namun kenyataannya kebutuhan masyarakat berjalan dalam arah yang berlawanan dengan keinginan hukum.
Stein mencoba memecahkan masalah ini dengan mengemukakan pendapat bahwa perjanjian baku dapat diterima sebagai perjanjian, berdasarkan fiksi adanya kemauan dan kepercayaan (fictie van wil en vertrouwen) yang membangkitkan kepercayaan bahwa para pihak mengikatkan diri pada perjanjian itu. Dengan demikian secara sukarela para pihak setuju pada isi perjanjian itu. Hondius-pun mempertahankan bahwa perjanjian baku mempunyai kekuatan mengikat berdasarkan kebiasaan (gebruik) yang berlaku di lingkungan masyarakat dan lalu lintas perdagangan19.
Dengan demikian mengenai isi serta validitas perjanjian standar dalam perjanjian waralaba (franchise) umumnya memang sudah diterima dan mempunyai kekuatan mengikat sebagai kebiasaan karena penggunaannya dalam lingkungan masyarakat dan lalu lintas perdagangan. Dengan demikian dalam prakteknya, pihak penerima waralaba (franchisee) harus dengan teliti dan cermat dan dengan penuh kehati-hatian memeriksa seluruh isi perjanjian untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari.

D. UPAYA MENUMBUHKEMBANGKAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DENGAN KERJASAMA KEMITRAAN BERBENTUK WARALABA (FRANCHISE).

Dalam rangka menumbuhkembangkan usaha kecil dan menengah di Indonesia serta mengoptimalkan peransertanya dalam pembangunan, pada tahun 1995 pemerintah mengeluarkan undang-undang No. UU 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil.
Yang dimaksud dengan Usaha Kecil dalam UU No. 9 Tahun 1995 adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan memenuhi beberapa kriteria20. Dalam Penjelasan UU No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil dinyatakan bahwa usaha kecil adalah suatu jenis usaha yang merupakan bagian integral dunia usaha nasional mempunyai kedudukan, potensi, dan peranan yang sangat penting dan strategis dalam mewujudkan tujuan Pembangunan Nasional pada umumnya dan tujuan pembangunan ekonomi pada khususnya.
Usaha Kecil merupakan kegiatan usaha yang mampu memperluas lapangan kerja dan memberikan pelayanan ekonomi yang luas pada masyarakat dapat berperan dalam proses pemerataan dan meningkatkan pendapatan masyarakat, serta mendorong pertumbuhan ekonomi dan berperan dalam mewujudkan stabilitas nasional pada umumnya dan stabilitas pada khususnya.
Kenyataan memang menunjukkan bahwa Usaha Kecil masih belum dapat mewujudkan kemampuan dan peranannya secara optimal dalam perekonomian nasional, yang disebabkan oleh kenyataan bahwa Usaha Kecil masih menghadapi berbagai hambatan dan kendala, baik yan bersifat eksternal maupun internal, dalam bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, permodalan, sumber daya manusia, dan teknologi, serta iklim usaha yang belum mendukung bagi perkembangannya.
Dalam rangka mengembangkan usaha kecil ini, maka baik pemerintah, dunia usaha maupun masyarakat diharapkan melalukan pemberdayaan dalam bentuk penumbuhan iklim usaha, bimbingan, bantuan, pembinaan dan pengembangan sehingga Usaha Kecil mampu menumbuhkan dan memperkuat dirinya menjadi usaha yang tangguh dan mandiri.
Dalam UU No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil dijelaskan bahwa Pemberdayaan Usaha Kecil sendiri bertujuan untuk:
menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan Usaha Kecil menjadi usaha yang tangguh dan mandiri serta dapat berkembang menjadi Usaha Menengah;
meningkatkan peranan Usaha Kecil dalam pembentukan produk nasional, perluasan kesempatan kerja dan berusaha, meningkatkan ekspor, serta peningkatan dan pemerataan pendapatan untuk mewujudkan dirinya sebagai tulang punggung serta memperkukuh struktur perekonomian nasional.

Selain melakukan upaya pemberdayaan, pemerintah berupaya pula untuk menumbuhkan iklim usaha yaitu suatu kondisi berupa penetapan berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan di berbagai aspek kehidupan ekonomi agar Usaha Kecil memperoleh kepastian kesempatan yang sama dan dukungan berusaha yang seluas-luasnya. Pemerintah menumbuhkan iklim usaha dalam aspek persaingan dengan menetapkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan untuk:
meningkatkan kerja sama sesama Usaha Kecil dalam bentuk koperasi, asosiasi, dan himpunan kelompok usaha untuk memperkuat posisi tawar Usaha Kecil;
mencegah pembentukan struktur pasar yang dapat melahirkan persaingan yang tidak wajar dalam bentuk monopoli, oligopoli, dan monopsoni yang merugikan Usaha Kecil;
mencegah terjadinya penguasaan pasar dan pemusatan usaha oleh orang-perseorangan atau kelompok tertentu yang merugikan Usaha Kecil.

Sehubungan dengan pemberdayaan usaha kecil ini, maka dalam UU No. 9 Tahun 1995 diatur pula suatu pola kerjasama yang disebut sebagai kemitraan yaitu suatu hubungan kerjasama usaha antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah atau dengan Usaha Besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh Usaha Menengah atau Usaha Besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1998 tentang Pembinaan dan Pengembangan Usaha Kecil diatur mengenai peran Pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat dalam melakukan pembinaan dan pengembangan Usaha Kecil. Pembinaan tersebut meliputi bidang:
Produksi dan pengolahan;
Pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat melakukan pembinaan dan pengembangan dalam bidang produksi dan pengolahan dengan:
meningkatkan kemampuan manajemen serta teknik produksi dan pengolahan;
meningkatkan kemampuan rancang bangun dan perekayasaan;
memberikan kemudahan dalam pengadaan sarana dan prasarana produksi dan pengolahan, bahan baku, bahan penolong, dan kemasan.
Pemasaran;
Pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat melakukan pembinaan dan pengembangan dalam bidang pemasaran, baik di dalam maupun di luar negeri, dengan:
melaksanakan penelitian dan pengkajian pemasaran;
meningkatkan kemampuan manajemen dan teknik pemasaran;
menyediakan sarana serta dukungan promosi dan uji coba pasar;
mengembangkan lembaga pemasaran dan jaringan distribusi;
memasarkan produk Usaha Kecil.
Sumber daya manusia;
Pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat melakukan pembinaan dan pengembangan dalam bidang sumber daya manusia dengan:
memasyarakatkan dan membudayakan kewirausahaan;
meningkatkan keterampilan teknis dan manajerial;
membentuk dan mengembangkan lembaga pendidikan, pelatihan, dan konsultasi Usaha Kecil;
menyediakan tenaga penyuluh dan konsultan Usaha Kecil.
d. Teknologi.
Pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat melakukan pembinaan dan
pengembangan dalam bidang teknologi dengan:
meningkatkan kemampuan di bidang teknologi produksi dan pengendalian mutu;
meningkatkan kemampuan di bidang penelitian untuk mengembangkan desain dan teknologi baru;
memberi insentif kepada Usaha Kecil yang menerapkan teknologi baru dan melestarikan lingkungan hidup;
meningkatkan kerjasama dan alih teknologi;
meningkatkan kemampuan memenuhi standardisasi teknologi;
menumbuhkan dan mengembangkan lembaga penelitian dan pengembangan di bidang desain dan teknologi bagi Usaha Kecil.

Kemitraan sendiri adalah kerja sama antara usaha kecil dengan usaha menengah atau dengan usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh usaha menengah atau usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan dalam salah satu atau lebih bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, permodalan, sumber daya manusia, dan teknologi, di mana kedua belah pihak mempunyai kedudukan hukum yang setara.
Selain dengan cara pola inti-plasma, pola sub-kontrak, pola dagang umum dan pola keagenan, serta bentuk-bentuk lain yang sudah dan akan berkembang, disebutkan dalam UU No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil bahwa salah satu cara untuk melakukan kerjasama serta kemitraan antara adalah dengan pola waralaba (franchise) yaitu suatu hubungan kemitraan yang didalamnya pemberi waralaba memberikan hak penggunaan lisensi, merek dagang, dan saluran distribusi perusahaannya kepada penerima waralaba dengan disertai bantuan bimbingan manajemen.
Hubungan kemitraan ini diharapkan dapat dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis yang sekurang-kurangnya mengatur bentuk dan lingkup kegiatan usaha kemitraan, hak dan kewajiban masing-masing pihak, bentuk pembinaan dan pengembangan, serta jangka waktu dan penyelesaian perselisihan.
Sehubungan dengan hubungan kemitraan ini maka kemudian Pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden No. 127 Tahun 2001 tentang Bidang/Jenis Usaha yang Dicadangkan untuk Usaha Kecil dan Bidang/Jenis Usaha yang terbuka untuk Usaha Menengah atau besar dengan Syarat Kemitraan.
Dalam Pasal 2 Ayat (3) Keputusan Presiden No. 127 Tahun 2001 tersebut dinyatakan bahwa agar dapat meningkatkan kesempatan berusaha serta kemampuan manajemen dalam satu atau lebih aspek di bidang produksi dan pengolahan,pemasaran, sumber daya manusia, teknologi, penyediaan bahan baku, pengelolaan usaha dan pendanaan usaha menengah atau usaha besar dalam melakukan kemitraan wajib memberikan pembinaan kepada usaha kecil salah satunya dengan cara waralaba.
Penyelenggaraan Waralaba pada dasarnya dilakukan secara bertahap terutama di ibukota Propinsi. Pengembangan Waralaba di luar ibukota Propinsi, seperti di ibukota Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II dan tempat-tempat tertentu lainnya yang memerlukan kehadiran jasa Waralaba dilakukan secara bertahap dan dengan memperhatikan keseimbangan antara kebutuhan usaha dan tingkat pertumbuhan sosial dan ekonomi terutama dalam rangka pengembangan usaha kecil dan menengah di wilayah yang bersangkutan.
Secara administratif di Indonesia, peraturan mengenai waralaba (franchise) diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1997 tentang Waralaba serta Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 12/M-DAG/PER/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba21.
Dengan pengaturan-pengaturan di atas, sesungguhnya eksistensi bisnis waralaba (franchise) di Indonesia telah memiliki pijakan serta dasar hukum yang cukup kuat.
Sehubungan dengan sifat kemapanan baik dari aspek modal, manajemen, operasional maupun jenis produk yang ditawarkan dari sebuah perusahaan yang menawarkan franchise, dapatkah hal ini digunakan untuk ikut menumbuh kembangkan usaha kecil dan menengah yang ada di Indonesia ? Dapatkah kemitraan yang sejajar dengan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan dibangun berlandaskan kerjasama dengan bentuk franchise ini ?
Dalam beberapa hal, ada sekalangan pihak yang mempertanyakan eksistensi dari bisnis waralaba ini. Pertanyaan tersebut adalah seputar permasalahan mengenai larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, karena biasanya pemilik franchise adalah kalangan yang bermodal besar dan cukup memahami pangsa pasar atau keinginan konsumen karena barang/jasa yang ditawarkan telah teruji kemapanannya.
Sehubungan dengan hal ini, secara tegas dinyatakan dalam Pasal 50 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat bahwa bisnis waralaba dan juga perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang dikecualikan sebagai perjanjian yang dilarang dalam ketentuan undang-undang tersebut. Selain itu perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa yang tidak mengekang dan atau menghalangi persaingan; dan atau perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan juga dikecualikan dari ketentuan UU No. 5 Tahun 1999.
Mengenai keberlakuan perjanjian standar dalam perjanjian waralaba (franchise) sendiri telah diterangkan di atas, sehingga dari isi perjanjian standar tersebut serta klausul eksenorasi harus dilihat secara seimbang siapa yang akan bertanggung jawab apabila ada perbuatan melanggar hukum, dalam arti pihak pemberi waralaba (franchisor) tidak dapat dengan otomatis menyerahkan pembebanan tanggungjawab kepada pihak penerima waralaba (franchisee) apabila kesalahan dilakukan oleh pihak pemberi waralaba (franchisor). Klausul eksenorasi yang demikian harus dianggap sebagai cacat hukum sehingga harus dianggap sebagai tidak sah.
Sebagai suatu perjanjian, berdasarkan fiksi adanya kemauan dan kepercayaan (fictie van wil en vertrouwen) yang membangkitkan kepercayaan bahwa para pihak mengikatkan diri pada perjanjian itu para pihak tunduk secara sukarela pada isi perjanjian itu. Dengan demikian kerjasama bisnis franchise adalah jenis kerjasama yang memang membutuhkan kepercayaan (trust) antara kedua belah pihak. Kerjasama dengan adanya kepercayaan dan kemauan para pihak inilah yang nantinya akan menjadi landasan bagi kerjasama kemitraan sebagai upaya untuk menumbuhkembangkan usaha kecil dan menengah.
Bila dipahami dari apa yang telah dipaparkan di atas, secara yuridis landasan hukum untuk mengembangkan kerjasama kemitraan sebagai upaya untuk menumbuhkembangkan usaha kecil dan menengah dalam bisnis waralaba di Indonesia sudah cukup kuat, karena dari pengertian tentang kemitraan sebagaimana yang diatur dalam UU No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, maka sesungguhnya kerjasama atau bisnis franchise sendiri sudah merupakan suatu hubungan kemitraan.
Hal ini disebabkan karena pihak franchisor yang umumnya adalah pihak yang memiliki kapital, keahlian dalam hal manajemen, produksi dan pengolahan, pemasaran, permodalan, sumber daya manusia, dan teknologi serta operasional secara otomatis dan diperjanjikan dalam perjanjian waralaba (franchise) mempunyai kewajiban untuk memberikan pembinaan serta bimbingan kepada pihak franchisee supaya bisnis waralaba dapat menguntungkan kedua belah pihak. Selain itu kerjasama serta kemitraan dengan pola waralaba (franchise) dilakukan dengan pemberian hak penggunaan lisensi, merek dagang, dan saluran distribusi perusahaan dari pemberi waralaba (franchisor) kepada penerima waralaba (franchisee) dengan disertai bantuan bimbingan manajemen.
Yang perlu diberikan perhatian adalah supaya perjanjian waralaba (franchise) tidak hanya semata-mata diberikan kepada pengusaha yang mempunyai modal besar (pengusaha besar) saja, namun secara sukarela pihak pemegang atau pemilik franchise juga memberi kesempatan supaya bisnis franchise tersebut bisa dimiliki oleh pengusaha kecil dan menengah dengan memberikan kepercayaan (trust) kepada mereka, dengan demikian kemitraan yang sejajar dengan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan dapat dibangun berlandaskan kerjasama dengan bentuk franchise ini.
Sehubungan dengan pengembangan UKM, seorang konsultan waralaba asing Amir Karamoy mengemukakan bahwa untuk memberi nilai tambah bagi pertumbuhan ekonomi daerah serta mendorong perkembangan UKM, pemerintah harus aktif mendorong pengembangan produksi nasional dengan memanfaatkan produksi dalam negeri. Penggunaan produk dalam negeri telah membuktikan waralaba nasional atau lokal mampu bertahan dibandingkan waralaba asing yang lebih banyak menggunakan atau memasarkan produk-produk impor22.
Selain itu, salah satu keuntungan yang dapat diperoleh dengan usaha franchise ini adalah alih teknologi, kemampuan manajemen, dan kesempatan berusaha bagi Usaha Kecil sebenarnya dapat terjadi secara wajar atau alami dengan mengikuti dan melaksanakan perjanjian franchise itu sendiri. Namun memang ada ketentuan yang tetap harus diperhatikan oleh pihak penerima waralaba (franchisee) terutama yang berkaitan dengan alih teknologi dan juga perlindungan terhadap hak atas kekayaan intelektual yang dimiliki pihak pemberi waralaba (franchisor) sebagaimana ditentukan dalam undang-undang.
Untuk landasan hukum mengenai kerjasama kemitraan sendiri dapat dilihat dalam UU No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, Keputusan Presiden No. 127 Tahun 2001 tentang Bidang/Jenis Usaha yang Dicadangkan untuk Usaha Kecil dan Bidang/Jenis Usaha yang terbuka untuk Usaha Menengah atau Besar dengan Syarat Kemitraan yang menyebutkan bahwa usaha waralaba adalah salah satu usaha yang dimaksud dan terbuka untuk Usaha Menengah atau Besar dengan Syarat Kemitraan, Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1997 tentang Waralaba serta Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 12/M-DAG/PER/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba. Untuk permasalahan mengenai larangan monopoli juga sudah diatur dalam Pasal 50 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat bahwa bisnis waralaba bukan termasuk usaha yang dilarang dalam undang-undang tersebut.
E. PENUTUP
Demikian kiranya pemaparan yang dapat diberikan sehubungan dengan aspek hukum bisnis waralaba (franchise) serta pengembangan waralaba (franchise) sebagai bentuk kerjasama kemitraan untuk menumbuh kembangkan usaha kecil dan menengah di era global. Dengan berbagai ketentuan yang mengatur mengenai usaha waralaba (franchise) di Indonesia, bentuk kerjasama waralaba (franchise) ini sesungguhnya dapat digunakan sebagai alternatif untuk menumbuh kembangkan usaha kecil dan menengah di Indonesia. Dengan karakteristik bisnis waralaba (franchise) yang khas, pihak penerima waralaba (franchisee) diharapkan dapat memanfaatkan dukungan pemasaran dan operasional, dukungan untuk memulai usaha, dukungan selama beroperasi, dan ketersediaan pelatihan dan tenaga-tenaga ahli, alih teknologi serta alih manajemen dari Pemberi Waralaba (franchisor) untuk terus mengembangkan usahanya, sehingga dapat tercipta suatu bentuk kemitraan dengan prinsip memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan.
Dengan kemitraan yang sejajar yang dituangkan dalam bentuk pembinaan dan bimbingan terhadap usaha kecil dan menengah diharapkan dapat tercipta suatu usaha kecil dan menengah yang tangguh dan mandiri, memiliki daya saing tinggi dengan bertumpu pada kepercayaan dan kemampuan sendiri. Dengan memperhatikan tanggung jawab moral dan etika bisnis yang sehat, Pemberi waralaba (franchise) yang umumnya adalah Usaha Besar diharapkan dapat memberikan stimulan tanpa adanya unsur paksaan sehingga terlaksananya alih teknologi, manajemen, dan kesempatan berusaha bagi Usaha Kecil dan Menengah dapat terjadi secara wajar.

*****

DAFTAR PUSTAKA

Buku / Literatur :

Badrulzaman, Mariam Darus, Aneka Hukum Bisnis, Bandung : Alumni, 2005.

Dimyati, Khudzaifah dan Kelik Wardono, dalam Pengantar, Problema Globalisasi : Perspektif Sosiologi Hukum, Ekonomi, Agama, Surakarta : Muhammadiyah University Press, 2000.

Ibrahim, Johannes dan Lindawaty Sewu, Hukum Bisnis dalam Persepsi Manusia Modern, Bandung : Refika Aditama, 2004.

Kurniawan, Fanny, Tinjauan Yuridis Kontrak Bisnis Waralaba Domestik dengan Model Perjanjian Standar, Yogyakarta : UGM, 2003.

Lumbaturunan, Magdalena, Ensiklopedia Nasional Indonesia (ENI), Jakarta : Cipta Adi Pustaka, 1989.

Said, Bambang Pram, Tinjauan Hukum tentang Peraturan Waralaba di Indonesia, diambil dari www.ekonid.com/IND

Steger, Manfred B., Globalisme : Bangkitnya Ideologi Pasar, Yogyakarta : Lafadl Pusataka, 2005. Diterjemahkan oleh Heru Prasetia dari Globalism, the New Market Ideology, Rowman & Littlefield Publishers, Inc., USA, 2002

Subekti, Aneka Perjanjian, Cetakan Kesembilan, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1992.

________, R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Bergerlijk Wetboek), Edisi Revisi, Jakarta : Pradnya Paramita, 1999

Syahmin AK, Hukum Kontrak Internasional, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006.


Peraturan Perundang-undangan :
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil
Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1997 tentang Waralaba
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1998 tentang Oembinaan dan Pengembangan Usaha Kecil

Keputusan Presiden No. 127 Tahun 2001 tentang Bidang/Jenis Usaha yang Dicadangkan untuk Usaha Kecil dan Bidang/Jenis Usaha yang terbuka untuk Usaha Menengah atau Besar dengan Syarat Kemitraan.

Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 12/M-DAG/PER/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba.

Friday, May 2, 2008

E-Commerce

ASPEK HUKUM TRANSAKSI (PERDAGANGAN)
MELALUI MEDIA ELEKTRONIK (E-COMMERCE) DI ERA GLOBAL:
SUATU KAJIAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN
Oleh : Marcella Elwina S


ABSTRAK

Seiring dengan perkembangan globalisasi, dunia perdagangan dan dunia bisnis ikut berkembang dengan munculnya model transaksi bisnis dengan teknologi tinggi (high-tech improvement). Kondisi ini di satu pihak membawa keuntungan terutama karena efisiensi, namun di pihak lain membawa keraguan terutama untuk permasalahan hukum mengenai legal certainty atau kepastian hukum, keabsahan transaksi bisnis, masalah tanda tangan digital (digital signature), data massage, jaminan keaslian (authenticity) data, kerahasiaan dokumen (privacy), hukum yang ditunjuk jika terjadi pelanggaran kontrak (breach of contract), masalah yurisdiksi hukum serta hukum yang diterapkan (aplicable law) bila terjadi sengketa, pajak (tax), juga perlindungan terhadap konsumen pengguna (protections of consumers). Paper ini bertujuan untuk mengangkat seputar permasalahan hukum dalam transaksi (perdagangan) melalui media elektronik (e-commerce) serta aspek hukum perlidungan konsumen dalam transaksi melalui media elektronik (e-commerce).

Kata kunci : transaksi e-commerce, aspek hukum, konsumen

Paper ini bertujuan untuk mengungkapkan salah satu fenomena dalam transformasi global dalam bidang ekonomi khususnya mengenai perkembangan perdagangan yang dilakukan dengan menggunakan teknologi elektronik sebagai salah satu cara bertransaksi (berdagang) yang sering disebut dengan transaksi e-commerce.
Sebagai suatu bentuk transaksi atau perdagangan yang relatif baru sehubungan dengan perkembangan teknologi informasi, transaksi e-commerce ini mengandung beberapa permasalahan terutama permasalahan hukum mengenai legal certainty atau kepastian hukum. Selain itu karena karakteristiknya yang khas di mana penjual dan pembeli tidak bertemu secara langsung, bagaimanakah hukum terutama hukum positif di Indonesia dapat meng-counter hal tersebut.

A. PENDAHULUAN

Globalisasi adalah salah satu kata yang sangat sering disebut-sebut pada akhir era milenium dua dan awal milenium tiga ini. Ungkapan bahwa kita hidup pada era globalisasi adalah ungkapan yang selalu disebut-sebut dalam diskursus di ruang publik serta studi mengenai transfomasi atau perubahan sosial yang terjadi saat ini.
Meskipun tidak dapat menggambarkan seluruh fenomena baru yang ada, globalisasi saat ini sering dilukiskan sebagai penyusutan terhadap ruang dan waktu yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang mencerminkan peningkatan interkoneksi serta interdependensi sosial, politik, ekonomi, dan kultural masyarakat dunia. Euforia mengenai globalisasi ini menjalar secara perlahan dan mulai mempengaruhi seluruh aspek kehidupan manusia sehubungan dengan peningkatan serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama teknologi informasi. Umumnya kajian ekonomi mengenai globalisasi menyampaikan pandangan bahwa esensi dari globalisasi adalah ‘meningkatnya’ keterkaitan ekonomi nasional melalui perdagangan (baik dengan model yang konvensional maupun dengan model yang merujuk pada nilai-nilai serta perilaku modern : tambahan penulis), aliran keuangan dan penanaman modal atau investasi asing secara langsung (foreign direct investment).1
Seiring dan sejalan dengan perkembangan globalisasi, dunia perdagangan dan dunia bisnis juga ikut berkembang. Dalam perkembangan yang paling mutakhir, muncul sebuah model transaksi bisnis yang sangat inovatif yang mengikuti kemajuan teknologi tinggi (high-tech improvement) di bidang media komunikasi dan informasi. Ditemukannya teknologi internet (interconection networking) yaitu suatu koneksi antar jaringan komputer, cybernet atau world wide web (www) yang memungkinkan terjadinya transformasi informasi secara cepat ke seluruh jaringan dunia melalui dunia maya telah melahirkan apa yang disebut oleh Alvin Toflfler dalam The Third Wave (1982) sebagai ‘masyarakat gelombang ketiga’.2
Aplikasi internet saat ini telah memasuki berbagai bidang kehidupan manusia, baik dalam bidang politik, sosial, budaya, maupun ekonomi dan bisnis. Sehubungan dengan dengan peningkatan serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama teknologi informasi yang telah disebut di atas, dalam bukunya Alvin Toffler memprediksi bahwa di era milenium ketiga, teknologilah yang akan memegang peranan yang signifikan dalam kehidupan manusia. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern ini, menciptakan berbagai perubahan dalam kinerja manusia. Selanjutnya dikatakan bahwa teknologi internet telah pula merubah secara signifikan tiga dimensi kemanusiaan, meliputi perilaku manusia (human action), interaksi manusia (human interaction) dan hubungan antar manusia (human relations).
Dalam bidang perdagangan, adanya teknologi internet atau cybernet memungkinkan transaksi bisnis tidak hanya dilakukan secara langsung (face to face, direct selling), melainkan dapat menggunakan teknologi ini. Media internet sendiri mulai banyak dimanfaatkan sebagai media aktivitas bisnis terutama karena kontribusinya terhadap efisiensi. Efisiensi merupakan salah satu keuntungan dalam transaksi melalui media internet karena penghematan waktu, baik karena tidak perlunya penjual dan pembeli bertemu secara langsung, tidak adanya kendala transportasi dan juga sistem pembayaran (payment) yang mudah.
Aktivitas atau transaksi perdagangan melalui media internet ini dikenal dengan istilah electronic commerce (e-commerce). E-commerce tersebut terbagi atas dua segmen yaitu perdagangan antar pelaku usaha (business to business e-commerce) dan perdagangan antar pelaku usaha dengan konsumen (business to consumer e-commerce). Segmen business to business e-commerce memang lebih mendominasi pasar saat ini karena nilai transaksinya yang tinggi, namun level business to consumer e-commerce juga memiliki pangsa pasar tersendiri yang potensial.
Di Indonesia sendiri, fenomena transaksi dengan menggunakan fasilitas internet e-commerce ini sudah dikenal sejak tahun 1996 dengan munculnya situs http:// www.sanur.com sebagai toko buku on-line pertama. Meski belum terlalu populer, pada tahun 1996 mulai bermunculan berbagai situs yang melakukan e-commerce. Sepanjang tahun 1997-1998 eksistensi e-commerce di Indonesia sedikit menurun disebabkan karena krisis ekonomi. Namun sejak tahun 1999 hingga saat ini transaksi e-commerce kembali menjadi fenomena yang menarik perhatian meski tetap terbatas pada minoritas masyarakat Indonesia yang mengenal teknologi3.
Transaksi melalui web adalah salah satu fasilitas yang sangat mudah dan menarik. Seorang pengusaha, pedagang (vendor) ataupun korporasi dapat mendisplay atau memostingkan iklan atau informasi mengenai produk-produknya melalui sebuah website atau situs, baik melalui situsnya sendiri atau melalui penyedia layanan website komersial lainnya. Jika tertarik, konsumen dapat menghubungi melalui website atau guestbook yang tersedia dalam situs tersebut dan memprosesnya lewat website tersebut dengan menekan tombol ‘accept’, ‘agree’ atau ‘order’. Pembayaran pun dapat segera diajukan melalui penulisan nomor kartu kredit dalam situs tersebut.
Namun di samping beberapa keuntungan yang ditawarkan seperti yang telah disebutkan di atas, transaksi e-commerce juga menyodorkan beberapa permasalahan baik yang bersifat psikologis, hukum maupun ekonomis. Permasalahan yang bersifat psikologis misalnya adanya keraguan atas kebenaran data, informasi atau massage karena para pihak tidak pernah bertemu secara langsung. Oleh karena itu, masalah kepercayaan (trust) dan itikad baik (good faith) sangatlah penting dalam menjaga kelangsungan transaksi.
Untuk permasalahan hukum, masalah yang muncul biasanya mengenai legal certainty atau kepastian hukum. Permasalahan tersebut misalnya mengenai keabsahan transaksi bisnis dari aspek hukum perdata (misalnya apabila dilakukan oleh orang yang belum cakap/dewasa), masalah tanda tangan digital atau tanda tangan elektronik dan data massage. Selain itu permasalahan lain yang timbul misalnya berkenaan dengan jaminan keaslian (authenticity) data, kerahasiaan dokumen (privacy), kewajiban sehubungan dengan pajak (tax), perlindungan konsumen (protections of consumers), hukum yang ditunjuk jika terjadi pelanggaran perjanjian atau kontrak (breach of contract), masalah yurisdiksi hukum dan juga masalah hukum yang harus diterapkan (aplicable law) bila terjadi sengketa.
Permasalahan yang disebutkan di atas menunjukkan bahwa transaksi melalui e-commerce mempunyai resiko yang cukup besar. Khusus mengenai pembayaran misalnya ada resiko yang timbul karena pihak konsumen biasanya memiliki kewajiban untuk melakukan pembayaran terlebih dahulu (advanced payment), sementara ia tidak bisa melihat kebenaran serta kualitas barang yang dipesan dan tidak adanya jaminan kepastian bahwa barang yang dipesan akan dikirim sesuai pesanan. Lebih jauh lagi pembayaran melalui pengisian nomor kartu kredit di dalam suatu jaringan publik (open public network) seperti misalnya internet juga mengandung resiko yang tidak kecil, karena membuka peluang terjadinya kecurangan baik secara perdata maupun pidana.
Hal ini disebabkan karena di dalam transaksi e-commerce, para pihak yang melakukan kegiatan perdagangan/perniagaan hanya berhubungan melalui suatu jaringan publik (public network) yang terbuka. Koneksi ke dalam jaringan internet sebagai jaringan publik merupakan koneksi yang tidak aman, sehingga hal ini menimbulkan konsekuensi bahwa transaksi e-commerce yang dilakukan dengan koneksi ke internet adalah bentuk transaksi beresiko tinggi yang dilakukan di media yang tidak aman. Namun demikian, kelemahan yang dimiliki oleh internet sebagai jaringan publik yang tidak aman ini telah dapat diminimalisasi dengan adanya penerapan teknologi penyandian informasi (crypthography) yaitu suatu proses sekuritisasi dengan melakukan proses enskripsi (dengan rumus algoritma) sehingga menjadi chipher/locked data yang hanya bisa dibaca/dibuka dengan melakukan proses reversal yaitu proses deskripsi sebelumnya. Selain itu kelemahan hakiki dari open network yang telah dikemukakan tersebut sebenarnya sudah dapat diantisipasi atau diminimalisasi dengan adanya sistem pengamanan digital signature yang juga menggunakan teknologi sandi crypthography4.
Walaupun demikian, salah seorang pakar internet Indonesia, Budi Raharjo, menilai bahwa Indonesia memiliki potensi dan prospek yang cukup menjanjikan untuk pengembangan e-commerce. Berbagai kendala yang dihadapi dalam pengembangan e-commerce ini seperti keterbatasan infrastruktur, ketiadaan undang-undang, jaminan keamanan transaksi dan terutama sumber daya manusia bisa diupayakan sekaligus dengan upaya pengembangan pranata e-commerce.5
Sekalipun menimbulkan resiko, mengabaikan pengembangan kemampuan teknologi akan menimbulkan dampak negatif di masa depan, sehingga keterbukaan, sifat proaktif serta antisipatif merupakan alternatif yang dapat dipilih dalam menghadapi dinamika perkembangan teknologi. Hal ini disebabkan karena Indonesia dalam kenyataannya sudah menjadi bagian dari pasar e-commerce global.
Dalam bidang hukum, hingga saat ini Indonesia belum memiliki pranata hukum atau perangkat hukum yang secara khusus dapat mengakomodasi perkembangan e-commerce, padahal pranata hukum merupakan hal yang sangat penting dalam bisnis. Dengan kekosongan hukum ini, maka dalam kesempatan penulisan ini, akan berusaha dipaparkan mengenai aspek hukum transaksi e-commerce dengan melakukan pembatasan sesuai dengan judul yang diambil yaitu Aspek Hukum Transaksi (Perdagangan) melalui Media Elektronik (E-Commerce) Di Era Global : Suatu Kajian Perlindungan Hukum terhadap Konsumen.

B. PERUMUSAN MASALAH
Untuk memudahkan pembahasan, maka perumusan masalah yang dikemukakan dalam paper atau makalah ini adalah sebagai berikut :
Apa sajakah permasalahan hukum yang dihadapi dalam transaksi e-commerce?
Bagaimanakah pranata atau pengaturan hukum yang dapat memberikan perlindungan terhadap konsumen dalam transaksi e-commerce?

C. TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan dari penulisan paper atau makalah ini adalah sebagai berikut :
Untuk menginventarisasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam transaksi e-commerce.
Untuk mengetahui pranata atau pengaturan hukum yang dapat memberikan perlindungan terhadap konsumen dalam transaksi e-commerce.

D. PEMBAHASAN
Pembahasan dalam paper ini akan terbagi dalam beberapa sub-bagian, di mana masing-masing bagian dianggap cukup penting untuk dikemukakan sebelum menjawab permasalahan yang diangkat dalam paper.

1. Definisi E-Commerce dan Proses Perdagangan melalui Media Elektronik
Sampai saat ini belum ada kesepakatan di antara para pengamat dan pakar mengenai definisi dari e-commerce, karena setiap pakar atau pengamat memberi penekanan yang berbeda perihal e-commerce ini.
Chissick dan Kelman misalnya memberikan definisi yang sangat global terhadap e-commerce yaitu ‘a board term describing business activities with associated technical data that are conducted electronically’. Hampir senada dengan pengertian tersebut, Kamlesh K. Bajaj dan Debjani Nag menyatakan bahwa e-commerce merupakan satu bentuk pertukaran informasi bisnis tanpa menggunakan kertas (paperless exchange of business information) melainkan dengan menggunakan EDI (Electronic Data Interchange), electronic mail (e-mail), EBB (Electronic Bulletin Boards), EFT (Electronic Funds Transfer) dan melalui jaringan teknologi lainnya6.
Definisi lain yang bersifat lebih teoritis dengan penekanan pada aspek sosial ekonomi dikemukakan oleh Kalalota dan Whinston dengan menyatakan bahwa e-commerce adalah sebuah metodologi bisnis modern yang berupaya memenuhi kebutuhan organisasi-organisasi, para pedagang dan konsumer untuk mengurangi biaya (cost), meningkatkan kualitas barang dan jasa serta meningkatkan kecepatan jasa layanan pengantaran barang. United Nation, khususnya komisi yang menangani Hukum Perdagangan Internasional menyatakan bahwa e-commerce adalah perdagangan yang dilakukan dengan menggunakan data massage electronic sebagai media.
Komisi Perdagangan Internasional PBB menyatakan bahwa e-commerce adalah perdagangan yang dilakukan dengan menggunakan data massage electronic sebagai medianya. Istilah commerce itu sendiri didefinisikan oleh PBB dalam UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce sebagai setiap hal yang muncul dari seluruh sifat hubungan ‘perdagangan’, baik yang bersifat kontraktual ataupun tidak, meliputi (tapi tidak terbatas pada) transaksi berikut: setiap transaksi perdagangan untuk mensuplai atau menukar barang atau jasa; perjanjian distribusi; representasi atau agensi perdagangan; perusahaan; leasing; konstruksi kerja; konsultasi; teknik; pemberian ijin; investasi; pemberian dana (financing); banking; asuransi; eksploitasi; kesepakatan atau perjanjian atau konsesi; joint venture dan bentuk-bentuk lain kerjasama di bidang industri atau bisnis; pengangkutan barang atau penumpang melalui udara, laut, kereta api atau jalan.
Dalam UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce juga disebut bahwa data massage adalah informasi yang dibuat, dikirim, diterima atau disimpan dengan peralatan-peralatan elektronik, optik atau semacamnya, termasuk, tapi tidak terbatas pada pertukaran data elektronik (EDI), e-mail, telegram, teleks dan telekopi.7
Dari semua definisi mengenai e-commerce di atas, jelas esensinya menuju satu substansi yang sama yaitu suatu proses perdagangan dengan menggunakan teknologi dan komunikasi jaringan elektonik. Namun dari pengertian yang ada dalam UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce, dapat dipahami bahwa e-commerce bukan hanya perdagangan yang dilakukan melalui media internet saja (sebagaimana yang dipahami banyak orang selama ini), melainkan meliputi pula setiap aktifitas perdagangan yang dilakukan melalui atau menggunakan media elektronik lainnya. Adapun media elektronik yang sering digunakan dalam transaksi e-commerce adalah EDI (Electronic Data Interchange), teleks, faks, EFT (Electronic Funds Transfer) dan internet.

2. Permasalahan Hukum (Kontrak) dalam Transaksi E-Commerce
Dalam tulisannya Perlindungan Konsumen dalam E-Commerce, Esther Dwi Magfirah mengidentifikasi beberapa permasalahan hukum yang dapat dihadapi konsumen dalam transaksi e-commerce. Permasalahan tersebut adalah8:
otentikasi subyek hukum yang membuat transaksi melalui internet;
saat perjanjian berlaku dan memiliki kekuatan mengikat secara hukum ;
obyek transaksi yang diperjualbelikan;
mekanisme peralihan hak;
hubungan hukum dan pertanggungjawaban para pihak yang terlibat dalam transaksi baik penjual, pembeli, maupun para pendukung seperti perbankan, internet service provider (ISP), dan lain-lain;
legalitas dokumen catatan elektronik serta tanda tanan digital sebagai alat bukti.
mekanisme penyelesaian sengketa;
pilihan hukum dan forum peradilan yang berwenang dalam penyelesaian sengketa.

Dari identifikasi yang dilakukan oleh Esther Dwi Magfirah ini, sebenarnya dapat dilihat bahwa permasalahan hukum yang mungkin timbul dalam transaski e-commerce ini sangatlah beragam dan sifatnya kursial.
Senada dengan apa yang diungkapkan di atas, M. Arsyad Sanusi kemudian membagi permasalahan hukum dalam transaski e-commerce menjadi dua yaitu permasalahan yang sifatnya substasial dan permasalahan yang sifatnya prosedural.
Permasalahan yang bersifat substasial diidentifikasi menjadi 5 (lima) yaitu permasalahan mengenai keaslian data massage dan tanda tangan elektronik; keabsahan (validity); kerahasiaan (confidentially/privacy) dan keamanan (security) dan availabilitas (availability). Untuk permasalahan yang bersifat prosedural dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu permasalahan yurisdiksi atau forum; permasalahan hukum yang diterapkan (applicable law) dan permasalahan yang berhubungan dengan pembuktian (evidence).9
Berikut akan dideskripsikan beberapa permasalahan yang bersifat substansial dan prosedural dalam transaksi e-commerce serta pranata hukum yang dapat memberikan perlindungan terhadap konsumen.

2.1. Permasalahan yang Bersifat Substansial
Permasalahan pertama adalah mengenai keaslian data massage dan tanda tangan elektronik. Untuk keaslian data massage dan tanda tangan elektronik, permasalahan mengenai authenticity yang timbul adalah apakah pengiriman data massage baik dari konsumen atau server adalah benar seperti yang diduga atau diharapkan? Biasanya peralatan yang digunakan untuk memverifikasi identitas users adalah password. Namun password-pun dapat diduga atau ditipu dan diintersepsi. Demikian pula alamat dapat dipalsu dan disadap oleh para hacker, sehingga keaslian atau otentisitas dari data massage tidak dapat lagi dijamin. Hal ini menjadi permasalahan vital dalam e-commerce karena data massage inilah yang akan dijadikan dasar utama terciptanya suatu perjanjian atau kontrak, baik menyangkut kesepakatan ketentuan dan persyaratan perjanjian atau kontrak maupun substansi perjanjian atau kontrak itu sendiri.
Sebagai solusi, selama ini dimunculkan alat atau teknik yang dianggap mampu memberikan otentikasi yaitu kriptografi (cryptography) dan tanda tangan elektronik (electronic/digital signature). Dua teknik inilah yang selama ini dianggap sebagai pilar atau penopang e-commerce dan dianggap telah memungkinkan dokumen elektronik untuk memiliki posisi yang sama dengan dokumen kertas10.
Kriptografi adalah sebuah teknik pengamanan dan sekaligus pengotentikan data yang terdiri dari dua proses yaitu enskripsi dan deskripsi. Enskripsi adalah sebuah proses yang menjadikan teks informasi tidak terbaca oleh pembaca yang tidak berwenang karena telah dikonversi ke dalam bahasa sandi atau kode, sedangkan deskripsi adalah proses kebalikan dari enskripsi, yaitu menjadikan informasi yang asalnya telah dienskripsi untuk dibaca kembali oleh pembaca yang memiliki wewenang.
Tanda tangan elektronik menjadi permasalahan substansial sehubungan dengan otentikasi. Tanda tangan elektronik atau digital tidak hanya digunakan untuk memverifikasi keotentikan data massage tapi digunakan pula untuk meneliti identitas pengirim data, sehingga seseorang bisa yakin bahwa orang yang mengirim data massage benar-benar memiliki wewenang. Yang menjadi perdebatan adalah berkenaan dengan keabsahan sebuah kontrak on-line yang menggunakan digital signature. Apakah digital signature ini dapat menggantikan posisi tanda tangan konvensional karena keduanya memiliki bentuk fisik yang berbeda? Dengan demikian harus dilihat kembali apakah definisi dari tanda tangan itu, karena bagi ahli yang menganut madzhab skriptualis, yang menekankan pada bunyi teks hukum secara tekstual, maka keabsahan digital signature ini akan dianggap tidak sah.
Secara internasional UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce dan ETA Singapore telah menerima tanda tangan elektronik sebagai tanda tangan yang valid. Bagaimana dengan Indonesia? Tampaknya usaha ke arah ini belum menampakkan perkembangan. Secara khusus kita belum mengadopsi pengaturan ini dan belum membentuk legislasi atau aturan khusus mengenai hal ini.
Permasalahan yang menyangkut substansi yang kedua adalah masalah keabsahan (validity). Sahkah perjanjian yang dilakukan secara on-line, yang memiliki beberapa perbedaan secara prosedural dengan perjanjian konvensional yang lazim digunakan?
Sebagaimana dalam perdagangan konvensional, transaksi e-commerce menimbulkan perikatan antara para pihak untuk memberikan suatu prestasi sebagai contoh dalam perikatan atau perjanjian jual beli, sehingga dari perikatan ini timbul hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak yang terlibat.
Jual-beli merupakan salah satu jenis perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata, sedangkan e-commerce pada dasarnya merupakan model transaksi jual-beli modern yang menggunakan inovasi teknologi seperti internet sebagai media transaksi. Dengan demikian selama tidak diperjanjikan lain, maka sebenarnya ketentuan umum tentang perikatan dan perjanjian jual-beli yang diatur dalam Buku III KUHPerdata seharusnya dapat berlaku sebagai dasar hukum aktifitas e-commerce di Indonesia. Jika dalam pelaksanaan transaksi e-commerce tersebut timbul sengketa, maka para pihak dapat mencari penyelesaiannya dalam ketentuan tersebut.
Pada umumnya asas yang digunakan untuk transaksi dagang atau jual beli adalah asas konsensualisme, yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa perjanjian jual beli sudah dilahirkan pada saat atau detik tercapainya ‘sepakat’ mengenai barang dan harga. Asas ini juga dianut dalam hukum perdata di Indonesia yang diatur dalam Pasal 1458 KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek). Selain itu ada syarat lain yang juga harus dipenuhi untuk sahnya suatu perjanjian. Mengenai syarat sahnya suatu perjanjian di Indonesia diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu adanya kesepakatan antara para pihak, dilakukan oleh orang yang cakap hukum, adanya hal atau obyek tertentu dan adanya suatu causa atau sebab yang halal.11
Dalam hukum, keabsahan suatu kontrak sangat tergantung pada pemenuhan syarat-syarat dalam suatu kontrak. Apabila syarat-syarat kontrak telah terpenuhi, terutama adanya kesepakatan atau persetujuan antara para pihak, maka kontrak dinyatakan terjadi. Dalam transaksi e-commerce, terjadinya kesepakatan dan perjanjian sangat erat hubungannya dengan otentisitas dari data massage, sehingga timbul permasalahan apakah wujud data yang tidak tertulis di atas kertas --melainkan dalam wujud data record yang abstrak-- serta tanda tangan elektronik dapat diterima sebagai sesuatu yang sah?
Bagaimana dengan kontrak on-line? Menurut para pemerhati e-commerce, kondisi-kondisi hukum di atas juga berlaku mutatis mutandis pada kontrak on-line, karena sebenarnya kontrak on-line adalah sama kondisinya dengan kontrak pada umumnya atau kontrak konvensional, hanya saja dalam kontrak on-line digunakan piranti teknologi canggih dengan berbagai macam variasinya. Sebagai contoh Michael Chissick dan Kelman secara tegas menyatakan bahwa dalam e-commerce sebenarnya tidak ada hal-hal yang baru, melainkan hanya permasalahan lama yang dikemas dalam bingkai yang baru karena perbedaan sarana dan prasarana yang dimungkinkan oleh teknologi internet12.
Dengan pernyataan ini, walaupun masalah yang dihadapi mungkin berbeda, ketentuan mengenai perjanjian jual beli yang diatur dalam hukum Indonesia sebenarnya cukup memadai untuk hal ini, namun karena sifatnya yang khas, masih ada beberapa hal yang dapat diperdebatkan, misalnya mengenai kecakapan membuat perjanjian yang dalam hal ini oleh anak yang masih di bawah umur dan juga mengenai causa yang halal. Dengan demikian hal yang penting untuk kembali dilihat adalah mengenai digital signature untuk mengetahui kompetensi baik penjual maupun pembeli.
Namun perlu pula dicermati bahwa sebenarnya permasalahannya tidaklah sesederhana itu. E-commerce merupakan model perjanjian jual-beli dengan karakteristik yang berbeda dengan model transaksi jual-beli konvensional, apalagi dengan daya jangkau yang tidak hanya lokal tapi juga bersifat global. Apakah kemudian ketentuan jual-beli konvensional sebagaimana diatur dalam KUH Perdata secara tepat sesuai dan cukup untuk adaptif dengan konteks e-commerce atau perlukan membuat regulasi khusus untuk mengatur e-commerce ?
Mengenai pertanyaan kapan lahirnya kontrak web atau kontrak on-line yang sifatnya mengikat serta valid dalam hukum? Sejauh ini dapat dikemukakan dua pendapat dengan argumentasinya sendiri-sendiri. Pertama, kontrak web lahir pada saat buyer atau konsumen melakukan klik penerimaan ‘agree’ atau ‘accept’, yang berarti data sudah terkirim dan tidak dapat ditarik kembali. Ini menandakan telah terjadi kesepakatan antara pihak penjual dan pembeli. Kedua, kontrak lahir dan mengikat ketika seller atau penjual menerima pesan order tersebut dan buyer atau konsumen telah menerima acknowledgement of receipt.
Permasalahan ketiga adalah masalah kerahasiaan (confideniality/ privacy). Kerahasiaan yang dimaksud di sini meliputi kerahasiaan data atau informasi dan juga perlindungan terhadap data atau informasi dari akses yang tidak sah dan tanpa wenang. Untuk e-commerce, masalah kerahasiaan ini sangat penting karena berhubungan dengan proteksi terhadap data keuangan, informasi perkembangan produksi, struktur organisasi serta informasi lainnya. Kegagalan untuk menjaga kerahasiaan dapat berujung pada terjadinya suatu dispute yang berujung pada tuntutan ganti rugi. Secara teknis solusinya dapat berupa penyediaan teknologi dan sistem yang tidak memberikan peluang kepada orang yang tidak berwenang untuk membuka dan membaca massage. Untuk upaya hukum, dapat dilakukan dengan membuat aturan hukum mengenai perlindungan terhadap informasi digital.13
Masalah keempat adalah masalah keamanan (security). Masalah keamanan ini tidak kalah penting karena dapat menciptakan rasa percaya bagi para pengguna dan pelaku bisnis untuk tetap menggunakan media elektronik untuk kepentingan bisnisnya. Masalah keamanan yang timbul biasanya karena kerusakan (error) pada sistem atau data yang dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak bertanggung jawab.
Masalah terakhir yang sering timbul adalah masalah availabilitas atau ketersediaan data. Masalah ini penting sehubungan dengan keberadaan informasi yang dibuat dan ditransmisikan secara elektronik harus tersedia bila dibutuhkan. Dengan ini, untuk menjaga kepercayaan (trust) dan itikad baik (good faith), harus dibuat suatu sistem pengamanan yang dapat memproteksi dan mencegah terjadinya kesalahan atau hambatan baik kesalahan teknis, kesalahan pada jaringan dan kesalahan profesional.14

2.2. Permasalahan yang Bersifat Prosedural
Di atas sudah disebutkan bahwa permasalahan hukum yang bersifat prosedural adalah permasalahan yurisdiksi atau forum; permasalahan hukum yang diterapkan (applicable law) dan permasalahan yang berhubungan dengan pembuktian (evidence).
Masalah pertama mengenai yurisdiksi atau forum. Masalah yurisdiksi dalam e-commerce sangatlah kompleks, rumit dan sangat urgen untuk dibicarakan, karena bisa menyangkut yurisdiksi dua negara atau lebih. Padahal setiap keputusan pengadilan yang tidak memiliki yurisdiksi atas perkara tertentu atau personal incasu para pihak dapat dinyatakan batal demi hukum. Masalah yurisdiksi ini menjadi relevan ketika pengadilan mencoba menggunakan kekuasaannya terhadap orang yang bukan penduduk atau tidak tinggal dalam batas-batas teritorial negara tertentu. Pengadilan dalam hal ini tidak dapat menerapkan atau mengadili perkara tertentu kecuali negara tersebut saling mengadakan perjanjian mengenai penentuan yurisdiksi.
Dalam penentuan yurisdiksi perlu diperhatikan hal-hal seperti lokasi para pihak, obyek kontrak serta kehadiran para pihak. Terhadap negara yang telah memiliki perjanjian, biasanya diberlakukan peraturan mandatory, sedangkan untuk badan hukum atau perusahaan, penentuan forumnya biasanya adalah domisili perusahaan.
Dalam Hukum Perdata Internasional, konsep di mana penggugat memilih yurisdiksi dapat dilakukan berdasarkan asas teritorialitas atau domicilie dan asas nasionaliteit atau kewarganegaraan atau berdasarkan pilihan hukum para pihak. Indonesia sendiri berdasar Pasal 16 AB menganut asas nationaliteit untuk menentukan hukum yang berlaku bagi status personil seseorang.15 Selain itu, mengenai kontrak berlaku asas the proper law of contract, di mana yurisdiksi juga dapat dipilih berdasar lex loci contractus yaitu yurisdiksi yang berlaku di mana kontrak dibuat atau lex loci solutionis yaitu forum atau hukum tempat pelaksanaan perjanjian.
Dalam transaksi e-commerce, karena sifatnya yang khas di mana para pihak yang melakukan perjanjian atau kontrak tidak bertemu secara langsung dan perjanjian atau kontrak dilakukan secara elektronik dan esensinya yang menekankan pada efisiensi, cukup sulit untuk menentukan hukum mana yang akan diberlakukan apabila terjadi sengketa. Ada kemungkinan bahwa kontrak dianggap sah misalnya di salah satu tempat, namun dianggap tidak sah atau ilegal ditempat yang lain16.
Dalam perjanjian atau kontrak e-commerce, pengaturan mengenai yurisdiksi kemudian biasanya dilakukan dengan menggunakan pilihan hukum (choice of law) yang dimasukkan dalam klausul kontrak. Hal ini dimungkinkan karena pada prinsipnya persoalan pilihan hukum adalah otonomi dari para pihak. Masalah pilihan hukum atau partijautonomie ini sebenarnya merupakan salah satu ajaran khusus dalam Hukum Perdata Internasional.
Dalam menentukan hukum yang berlaku sesuai dengan Pilihan Hukum para pihak, maka dalam suatu kontrak para pihak bebas untuk melakukan pilihan sendiri hukum yang harus dipakai untuk kontrak mereka, namun mereka tidak bebas untuk menentukan sendiri perundang-undangan. Harus ada batas-batas tertentu untuk kelonggaran atau kebebasan memilih hukum, namun kebebasan ini bukan berarti boleh sewenang-wenang, sehingga pilihan hukum ini hanya diperkenankan sepanjang tidak melanggar apa yang dinamakan sebagai ‘ketertiban umum’ (ordre public) dan tidak terjadi penyelundupan hukum (fraus legis) yaitu sekedar menghindarkan diri dari suatu kaidah hukum tertentu yang memaksa.17
Menurut Sudargo Gautama, masalah pilihan hukum harus diartikan secara luas, tidak hanya menyangkut kepada pilihan hukum di bidang harta benda saja, tetapi segala perbuatan hukum yang mengakibatkan karena kemauan sendiri, bagi yang bersangkutan berlaku lain hukum perdata daripada hukum perdata yang lazim ditentukan baginya menurut peraturan-peraturan, termasuk di dalamnya penundukan sukarela untuk perbuatan hukum tertentu dan penundukan dianggap. Pilihan hukum ini berkenaan baik dengan bidang hukum perdata maupun hukum publik.18
Walaupun demikian, permasalahan yang kemudian dapat timbul adalah pengakuan serta daya mengikatnya putusan hakim suatu negara tertentu untuk diberlakukan di negara lain apabila terjadi sengketa atau adanya wanprestasi dari salah satu pihak. Dengan demikian memang harus disadari bahwa Hukum Perdata Internasional sendiri memiliki batasan-batasan dalam keberlakukannya.
Masalah kedua adalah masalah hukum yang diterapkan (applicable law). Walaupun masalah ini erat kaitannya dengan yurisdiksi, dalam transaksi e-commerce, klausul kontrak dan kewajiban para pihak secara umum seyogyanya tunduk pada hukum negara yang dipilih oleh para pihak. Namun bagaimana bila dalam penawaran yang tercantum dalam situs atau web tersebut tidak secara expressis verbis dicantumkan tentang forum mapun pilihan hukum? Jika tidak ada pilihan hukum yang efektif, maka hak dan kewajiban para pihak dapat ditentukan oleh hukum lokal negara dengan memperhatikan hubungan hukum yang memiliki signifikansi terdekat dengan masalah para pihak.
Sejalan dengan hal ini, mengutip pandangan Moris, the proper law of the contract adalah suatu sistem hukum yang dikehendaki oleh para pihak, atau bila kehendak itu tidak dinyatakan dengan tegas, atau tidak dapat diketahui dari keadaan disekitarnya, maka berlaku the proper law of the contract, yang merupakan sistem hukum yang memiliki kaitan yang paling kuat dan nyata dalam transaksi yang terjadi19. Demikian pula Sudargo Gautama mengemukakan teori the most characteristic connection yang menyatakan bahwa pilihan hukum berada pada kewajiban untuk melakukan prestasi yang paling karakteristik merupakan tolok ukur untuk penentuan hukum yang akan dipergunakan dalam mengatur perjanjian.
Permasalahan ketiga yang bersifat prosedural adalah masalah pembuktian (evidence). Untuk meminimalkan kecurangan-kecurangan dalam suatu perjanjian diperlukan dokumen sebagai pembuktian.
Bagaimana dengan dokumen pembuktian dalam transaksi e-commerce? Pembuktian juga merupakan hal yang penting dalam transaksi e-commerce. Namun karena sifatnya yang khas, biasanya bukti yang berupa dokumen digantikan oleh data yang berupa rekaman atau record.
Permasalahannya apakah rekaman data (record data) dapat diterima dalam sistem hukum Indonesia? Padahal kita tahu bahwa baik dalam Pasal 164 HIR yang menyebutkan mengenai alat bukti, mapun dalam Pasal 184 KUHAP tidak disebutkan mengenai alat bukti berupa rekaman data20. Dapatkah hukum Indonesia secara progresif membuka kemungkinan untuk menerima bukti lain selain yang sudah diatur tersebut, seperti misalnya data rekaman dari komputer, padahal sampai saat ini, alat bukti berupa rekaman elektronik masih menjadi perdebatan? Untuk sementara, di Indonesia peraturan perundang-undangan yang telah menerima bukti elektronik seperti e-mail, fax dan data elektronik komputer barulah UU Tindak Pidana Korupsi.
Mengingat perkembangan teknologi informasi yang begitu cepat, peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pembuktian dan alat bukti seyogyanya sesegera mungkin direformasi, sehingga rekam data elektronik dapat digunakan sebagai alat bukti. Tanpa reformasi hukum, maka perdebatan mengenai hal ini akan terus berlanjut, karena interpretasi mengenai alat bukti record data sebagai surat dapat dianggap sebagai analogi.21

3. Perlindungan Hukum terhadap Konsumen dalam Transaksi E-Commerce
Salah satu kelebihan atau keuntungan dalam e-commerce adalah informasi yang beragam dan mendetail yang dapat diperoleh konsumen dibandingkan dengan perdagangan konvensional tanpa harus bersusah payah pergi ke banyak tempat. Melalui internet misalnya konsumen dapat memperoleh aneka informasi barang dan jasa dari berbagai situs yang beriklan dalam berbagai variasi merek lengkap dengan spesifikasi harga, cara pembayaran, cara pengiriman, bahkan fasilitas pelayanan track and trace yang memungkinkan konsumen melacak tahap pengiriman barang yang dipesannya.
Kondisi tersebut memberi banyak manfaat bagi konsumen karena kebutuhan akan barang dan jasa yang diinginkan dapat terpenuhi. Selain itu juga terbuka kesempatan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan finansial konsumen dalam waktu yang relatif efisien.
Namun demikian, e-commerce juga memiliki kelemahan. Metode transaksi elektronik yang tidak mempertemukan pelaku usaha dan konsumen secara langsung serta tidak dapatnya konsumen melihat secara langsung barang yang dipesan berpotensi menimbulkan permasalahan yang merugikan konsumen.
Salah satu contoh adalah ketidaksesuaian jenis dan kualitas barang yang dijanjikan, ketidaktepatan waktu pengiriman barang atau ketidakamanan transaksi. Faktor keamanan transaksi seperti keamanan metode pembayaran merupakan salah satu hal urgen bagi konsumen. Masalah ini penting sekali diperhatikan karena terbukti mulai bermunculan kasus-kasus dalam e-commerce yang berkaitan dengan keamanan transaksi, mulai dari pembajakan kartu kredit, stock exchange fraud, banking fraud, akses ilegal ke sistem informasi (hacking) perusakan web site sampai dengan pencurian data.
Beragam kasus yang muncul berkaitan dengan pelaksanaan transaksi terutama faktor keamanan dalam e-commerce ini tentu sangat merugikan konsumen. Padahal jaminan keamanan transaksi e-commerce sangat diperlukan untuk menumbuhkan kepercayaan konsumen penggunanya. Pengabaian terhadap hal tersebut akan mengakibatkan pergeseran terhadap falsafah efisiensi yang terkandung dalam transaksi e-commerce menuju ke arah ketidakpastian yang nantinya akan menghambat upaya pengembangan pranata e-commerce.
Permasalahan hukum serta pemecahan yang sudah dijelaskan di atas, sebenarnya tidak lain dimaksudkan sebagai upaya untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen dalam transaksi e-commerce. Walaupun tiak secara khusus disebutkan untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen, namun mengingat permasalahan yang dihadapi adalah permasalahan yang umumnya dihadapi oleh konsumen serta pemecahannya baik secara substansial maupun secara prosedural, maka solusi yang telah diungkapkan di atas dapat digunakan untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen.
Dalam tulisannya, Asril Sitompul menyatakan bahwa bagaimanapun juga masalah keamanan merupakan masalah penting dalam pemanfaatan media elektronik khususnya internet. Tanpa jaminan keamanan, maka para pelaku usaha akan enggan untuk memanfaatkan media ini. Untuk jaminan keamanan ini, hal yang perlu mendapatkan perhatian adalah masalah domisili perusahaan, sehingga apabila ada sengketa hukum, dapat diketahui dengan pasti kedudukan hukum dari perusahaan yang menawarkan produknya melalui media elektronik. Pada prinsipnya masalah perizinan, pendirian dan pendaftaran perusahaan sama dengan perusahaan pada umumnya, tunduk pada hukum di tempat di mana perusahaan didaftarkan. 22
Untuk jaminan keamanan, public key infrastructure saat ini dioperasikan oleh banyak lembaga (dalam tataran internasional, seperti Amerika Serikat misalnya) baik untuk menunjang digital signature dan encryption (pengacakan). Salah satu cara untuk mengimplementasikan public key infrastructure adalah dengan melakukan sertifikasi antardomain (interdomain certification) atau dengan kata lain penerbitan sertifikat oleh dan antar suatu Certification Authority. Umumnya sertifikasi antar domain ini mencerminkan pengakuan secara hukum lintas domain dari semua komponen penting public key infrastructure, termasuk certification authority, sertifikat, digital signatures dan rekaman pendukung transaksi yang berlangsung. Jadi untuk menjamin keaslian suatu dokumen dan memastikan tanda tangan digital memang milik seseorang yang berhak lembaga Certification Authority inilah yang menjamin keasliannya23. Hal ini tentunya sangat penting, mengingat ketidak aslian dari certification authority, sertifikat, digital signatures dan rekaman pendukung transaksi yang berlangsung secara potensial akan merugikan konsumen.
Secara Nasional, pranata untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen adalah UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, namun UU perlindungan Konsumen ini secara khusus belum mengantisipasi perkembangan teknologi informasi di dalam pengaturannya. Dalam tataran internasional, telah dibuat kesepakatan-kesepakatan internasional yang secara khusus dapat digunakan untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen dalam transaksi e-commerce.
Di bawah ini akan diuraikan mengenai pranata atau pengaturan hukum yang dapat memberikan perlindungan terhadap konsumen dalam transaksi e-commerce.
Pranata dan Perlindungan Hukum terhadap Konsumen dalam Transaksi E-Commerce dalam tataran Internasional

Liberalisasi perdagangan membawa konsekuensi di mana semua barang dan jasa yang berasal dari negara lain bisa masuk Indonesia termasuk dengan menggunakan electronic commerce. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari disahkannya Undang-Undang No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization atau persetujuan pembentukan organisasi perdagangan dunia (WTO). Namun masuknya barang dan jasa impor tersebut bukannya tanpa masalah, di mana salah satu permasalahan yang timbul adalah masalah perlindungan konsumen. Demikian pula dalam hal pengaturan hukum mengenai hal ini.
Sehubungan dengan permasalahan pengaturan hukum dalam transaksi e-commerce, David Harland mengemukakan bahwa :
One consequence of the globalization of trade is a lissening of the significance of national laws affecting such trade. .... the non-territorial and intangible nature of electronic commerce calls into question the adequacy of existing law enforcement mechanism that are still geared to tangible products and national legislation. 24

Khusus untuk perlindungan konsumen dalam tataran internasional telah diterima The United Nation Guidelines for Consumer Protection yang diterima oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui Resolusi No. A/RES/39/248 tanggal 16 April 1985 dengan memberikan penekanan terhadap pemahaman umum dan luas mengenai konsumen serta perangkat perlindungan konsumen yang asasi dan adil untuk mencegah praktek perdagangan yang merugikan konsumen, persaingan yang tidak sehat serta perbuatan-perbuatan yang tidak mematuhi ketentuan perundang-undangan.25 Resolusi ini merekomendasi pula tentang perlunya memberikan perlindungan terhadap konsumen melalui suatu undang-undang yang bersifat nasional serta kerjasama internasional dalam rangka pertukaran informasi mengenai produk-produk terutama produk-produk yang berbahaya atau dilarang.
Sejalan dengan hal ini, maka setiap tahun PBB menerbitkan suatu daftar yang memuat semua produk yang telah dilarang untuk dikonsumsi atau dijual karena telah dilarang (banned), ditarik dari peredaran, sangat dibatasi atau tidak disetujui oleh pemerintah. Semuanya ini menampakkan keinginan bersama untuk memberlakukan ketentuan tentang pelarangan penggunaan produk berbahaya tertentu di suatu negara untuk negara lainnya26.
Walaupun tidak secara khusus dibuat untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen dalam transaksi e-commerce, seperti telah disebutkan di atas, PBB tepatnya komisi yang menangani Hukum Perdagangan Internasional telah menyetujui UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce dengan resolusi 51/162 sebagai mandat untuk kemajuan terhadap harmonisasi dan unifikasi hukum perdagangan internasional demi kepentingan semua pihak, terutama pihak-pihak dalam negara-negara berkembang. Selain itu disebutkan dalam konsideran UNCITRAL ini bahwa hal ini dimaksudkan sebagai alternatif terhadap paper-based methods of communication dan storage of information yang selama ini digunakan sebagai dasar dalam membuat suatu perjanjian27.
Selain itu dalam konsideran UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce juga dikatakan bahwa resolusi ini diharapkan dapat diterima secara umum oleh negara-negara dengan latar belakang hukum, sosial dan sistem ekonomi yang berbeda sehingga dapat secara signifikan menyumbangkan keharmonisan hubungan ekonomi internasional dan dapat diadopsi oleh negara-negara serta mengembangkan dan merevisi perundang-undangan nasionalnya aturan tentang alternatif penggunaan paper-based methods of communication dan storage of information.
Dalam Chapter II mengenai Aplication of Legal Requirement to data Massage UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce artikel 5 disebutkan bahwa informasi (dalam hal ini informasi elektronik) yang disajikan dalam data massage tidak akan dikesampingkan baik itu menyangkut aspek hukum, pelaksanaan maupun validitasnya. Selanjutnya dalam chapter tersebut diatur pula ketentuan mengenai tulisan (writing) yang menyatakan bahwa ketika hukum menghendaki informasi tertulis, maka kewajiban tersebut dapat ditemukan dalam data massage sebagai bahan referensi. Selanjutnya diatur mengenai keabsahan tanda tangan elektronik (signature), Ketentuan origin yaitu mengenai integritas dari informasi pada saat pertama kali dibuat dan ditayangkan dalam data masage, ketentuan mengenai data massage sebagai alat bukti (evidence), serta penyimpanan (retention) dari data massage.
Dalam Chapter III UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce diatur pula mengenai formasi serta validitas dari kontrak (formation and validity of contracts), pengakuan dari para pihak mengenai isi dari data massage (recognition by parties of data massage), atribusi dari data massage, pengekuan terhadap cara pembayaran atau kuitansi (acknowledgement of receipt) juga waktu dan tempat serta penerimaan waktu pembayaran yang diperoleh dari data massage (time and place dispatch and receipt of data massage)28.
UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce memang secara spesifik bukan dipersiapkan untuk mengatur mengenai perlidungan konsumen khususnya perlindungan terhadap konsumen dalam transaksi e-commerce, sehingga OECD dalam Conference on A Global Marketplace for Consumer pada tahun 1994 menyepakati perlunya International Code of Conduct for Sellers dalam pasar global
Beberapa negara di dunia telah mengatur dalam perundang-undangan nasionalnya transaksi e-commerce ini diantaranya Filipina dengan Act No. 8792, Masyarakat Uni Eropa dengan disetujuinya Directive 2000/31/EC on Certain legal Aspect of Information Society Services, in Particular Electronic Commerce, in Internal Market atau Directive on Electronic Commerce oleh The European Parliament and The Council pada tanggal 8 Juni 2000, juga Singapura dengan Electronic Transaction Act 1998, Australia dengan Electronic Transaction Bill 1999, serta Amerika juga Malaysia. Khusus Singapura dan Australia digunakan model sejalan dengan apa yang direkomendasikan dalam UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce.
Walaupun UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce serta peraturan perundang-undangan yang telah digunakan di beberapa negara tersebut memang tidak secara khusus menyebutkan mengenai perlidungan hukum terhadap konsumen, substansi yang diatur dalam peraturan-peraturan tersebut secara tidak langsung memberikan perlindungan terhadap para pihak yang melakukan transaksi elektronik (e-commerce). Dengan ini berarti para konsumen yang menggunakan teknologi elektronik dalam transaksi bisnisnya dapat berlindung pada peraturan-peraturan ini.
Bagaimana dengan Pengaturan di Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan ini, maka di bawah ini akan dipaparkan beberapa aspek mengenai perlindungan konsumen di Indonesia.

Pranata dan Perlindungan Hukum terhadap Konsumen dalam Transaksi E-Commerce dalam tataran Nasional

Walaupun Indonesia sudah meratifikasi pengesahan tentang pembentukan WTO, namun sampai saat ini perangkat yang dibutuhkan untuk itu belum cukup memadai. Setelah meratifikasi Pengesahan pembentukan WTO tersebut memang terlihat ada kemajuan yang cukup berarti dalam hal dibuatnya legislasi sebagai pendukung serta perangkat menuju era perdagangan bebas.
Indonesia telah memiliki UU yang memberikan perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual seperti hak Cipta, Paten dan Merk termasuk mengesahkan UU tentang Perlindungan Konsumen. Dalam tataran nasional usaha untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen memang dinyatakan dengan diberlakukannya Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Dalam salah satu butir konsiderannya dinyatakan bahwa usaha perlindungan terhadap konsumen dilakukan karena adanya ekspansi dunia usaha yang mengglobal. Disebutkan dalam konsideran menimbang butir 3 bahwa semakin terbukanya pasar nasional sebagai akibat dari proses globalisasi ekonomi harus tetap menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat serta kepastian atas mutu, jumlah, dan keamanan barang dan/atau jasa yang diperolehnya di pasar.
Selanjutnya dalam Penjelasan UU tersebut dijelaskan bahwa fenomena globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika telah memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa melintasi batas-batas wilayah suatu negara, sehingga barang dan/atau jasa yang ditawarkan bervariasi baik produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri.
Kondisi yang demikian pada satu pihak mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan konsumen akan barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen, namun di sisi lain, kondisi dan fenomena tersebut di atas dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi yang lemah. Konsumen menjadi objek aktivitas bisnis oleh pelaku usaha untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya melalui kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen.
Tujuan perlindungan konsumen sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan konsumen ini adalah untuk 1) meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri; 2) mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; 3) meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen; 4) menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi; 5) menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha; serta 6). meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen29.
Perlu pula ditegaskan bahwa faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih rendah, yang terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen. Oleh karena itu, Undang-undang Perlindungan Konsumen dimaksudkan menjadi landasan hukum untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen.
Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen telah diatur pula hak dan kewajiban pelaku usaha serta larangan-larangan yang bertujuan untuk memberi perlindungan terhadap konsumen dan telah pula mengatur mengenai hak dan kewajiban konsumen. Namun khusus untuk perlindungan hak konsumen dalam transaksi e-commerce masih rentan, karena walaupun Undang-undang Perlindungan Konsumen telah mengatur hak dan kewajiban bagi produsen dan konsumen, namun kurang tepat untuk diterapkan dalam transaksi e-commerce. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam proses produksi barang dan jasa ternyata belum diikuti dengan kemajuan perangkat hukum yang ada.
Beberapa hak konsumen yang diatur dalam UU perlindungan konsumen adalah : 1) hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; 2) hak untuk memilih serta mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; 3) hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur; 4) hak untuk didengar pendapat dan keluhannya; 5) hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; 6) hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; 7) hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; 8) hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
Namun selain haknya sebagaimana disebut di atas, konsumen juga memiliki beberapa kewajiban, dalam hal ini supaya konsumen tidak mendapatkan kerugian karena ketidak hati-hatiannya sendiri. Kewajiban tersebut diantaranya adalah : 1) membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; 2) beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; 3) membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; 4) mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Selain hak dan kewajiban konsumen seperti tersebut di atas, Pelaku Usaha memiliki pula beberapa hak dan kewajiban sebagai pemenuhan hak terhadap konsumen tersebut. Selain memiliki hak dan kewajiban ada beberapa pelarangan terhadap Pelaku Usaha yang apabila dilanggar, dapat mengakibatkan Pelaku Usaha terkena sanksi baik sanksi administratif, sanksi pidna maupun ganti kerugian secara perdata. Secara singkat pelarangan tersebut adalah :
memproduksi serta memperdagangkan barang dan/atau jasa yang : tidak sesuai dengan standar; tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto,dan jumlah serta tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut; tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa; tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang.
menawarkan, mempromosikan, mengiklan-kan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah : suatu barang telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu; barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru; tidak mengandung cacat tersembunyi.
memproduksi iklan yang mengelabui konsumen; memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat.
Mencantumkan klausula baku apabila menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha; menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali baik barang yang sudah dibeli maupun uang yang sudah dibayarkan konsumen; menyatakan mendapat kuasa dari konsumen baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen; menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan yang dibuat sepihak; mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
Untuk transaksi e-commerce, masalah posting iklan yang dilakukan oleh vendor di Internet misalnya harus dicermati dengan sungguh-sungguh oleh konsumen baik mengenai penawaran, promosi, serta iklan suatu barang dan/atau jasa. Demikian pula mengenai iklan yang mengelabui konsumen seperti misalnya memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat. Hal ini disebabkan karena tidak dapatnya konsumen melihat langsung produk barang atau jasa yang ditawarkan. UU Perlindungan Konsumen sebenarnya telah mengantisipasi hal tersebut. Tapi untuk transaski e-commerce, perlindungan ini tidak dapat serta merta diberlakukan karena karakteristiknya yang khas tersebut.
Dalam rangka perlindungan terhadap konsumen, dapat dilihat pula bahwa UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen selain memberikan sanksi administratif terhadap pelaku usaha bila melakukan perbuatan-perbuatan tertentu sebagaimana diatur dalam UU, juga melakukan kriminalisasi terhadap beberapa perbuatan sebagaimana diatur dalam UU Perlidungan Konsumen tersebut. Ketentuan pidana yang dapat diberikan adalah pidana penjara dan juga denda sampai dengan jumlah maksimal sebesar Rp. 2.000.000.000,-(dua milyar Rupiah).
Semua pengaturan yang telah disebutkan di atas sungguh tepat untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen. Namun karena undang-undang ini bertujuan untuk melindungi konsumen dalam skala nasional, maka perlindungan konsumen dalam bertransaksi secara elektronik sesungguhnya belum terakomodasi dalam ketentuan-ketentuan ini.
Selain pengaturan dalam UU Perlindungan Konsumen, sebenarnya dalam tataran tertentu untuk melindungi konsumen dapat pula digunakan hukum pidana dalam hal ini KUHP. Sungguhpun demikian, sehubungan dengan hal tersebut, Romli Atmasasmita sebagaimana disitasi oleh Yusif Shofie, mengemukakan bahwa bentuk tindak pidana dalam era perdagangan bebas tidak cukup dapat diantisipasi dengan ketentuan mengenai tindak pidana ‘perbuatan curang’ sebagaimana diatur dalam Pasal 378 sampai 395 KUHP, tetapi seharusnya diatur dalam ketentuan baru yang lebih komprehensif. Selanjutnya mengenai hal ini Romli Artmasasmita mengemukakan bahwa :
sanksi pidana dalam konteks dunia perdagangan dan bisnis hanya merupakan salah satu upaya untuk memperkuat harmonisasi hubungan antara para pihak yang terlibat, bukan sarana hukum yang dapat memperbaiki hubungan para pihak yang telah terganggu. Penggunaan dan harapan yang terlalu berlebihan pada kekuatan sanksi pidana dalam konteks dunia perdagangan dan bisnis hanya akan mempertaruhkan masa depan dunia usaha ke dalam jurang kehancuran, dan tidak memperkuat segenap segmen kehidupan dunia bisnis dan perdagangan30.

Sebenarnya masih ada satu lagi pranata hukum yang dapat melindungi konsumen dalam transaksi e-commerce yakni dengan asuransi. Namun sudah sangat jelas bahwa dengan penggunaan asuransi, maka beban biaya yang harus diberikan oleh konsumen dalam membeli atau menggunakan suatu produk menjadi lebih besar karena biaya pembayaran premi, karena umumnya konsumenlah yang akan terkena beban untuk membayar premi tersebut. Namun demikian, pranata ini dapat dijadikan salah satu upaya untuk pemberian perlindungan terhadap konsumen.
Dari apa yang telah dipaparkan di atas, maka sudah sangat jelas bahwa demi kebutuhan perlindungan terhadap konsumen terutama konsumen yang melakukan transaksi bisnis dengan menggunakan teknologi elektronik (e-commerce), maka urgensi untuk membuat legislasi yang mengatur mengenai hal ini sudah sangat tinggi. Hal ini disebabkan karena peraturan perundang-undangan yang ada terutama undang-undang yang mengatur mengenai perlindungan konsumen belum mengakomodasi kebutuhan tersebut.
Karakteristik yang berbeda dalam sistem perdagangan melalui teknologi elektronik tidak tercover dalam UU Perlindungan Konsumen tersebut. Untuk itu perlu dibuat peraturan hukum mengenai cyberlaw termasuk didalamnya tentang e-commerce agar hak-hak konsumen sebagai pengguna teknologi elektronik dalam proses perdagangan khususnya dalam melakukan transaksi e-commerce dapat terjamin.

E. PENUTUP

Sebagai fenomena yang relatif baru, bertransaksi bisnis dengan menggunakan teknologi elektronik (e-commerce) memang menawarkan kemudahan. Namun memanfaatkan teknologi sebagai fondasi aktivitas bisnis memerlukan tindakan dan pengaturan yang terencana agar berbagai dampak yang menyertainya dapat dikenali serta diatasi.
Dari apa yang telah diaparkan di atas, sebagai suatu kesimpulan dapatlah dikatakan bahwa :
Perkembangan teknologi informasi sehubungan dengan transformasi global yang melanda dunia membawa akibat pada berkembangnya aktivitas perdagangan, salah satunya adalah perdagangan atau transaksi melalui media elektronik (transaksi e-commerce). Secara umum berbagai masalah hukum yang berhubungan dengan substansi hukum maupun prosedur hukum dalam transaksi e-commerce memang sudah dapat terakomodasi dengan pengaturan-pengaturan hukum yang ada, terutama dengan aturan-aturan dalam KUH Perdata. Namun karena karakteristiknya yang berbeda dengan transaksi konvensional, apakah analogi dari peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai transaksi bisnis pada umumnya dapat diterima dalam transaksi e-commerce? Demikian pula dengan validitas tanda tangan digital (digital signatures). Bila hal demikian tidak dapat diterima, tentunya dibutuhkan aturan main baru untuk mengakomodasi berbagai kepentingan dalam rangka melindungi para pihak dalam transaksi e-commerce.
Secara khusus pranata atau pengaturan hukum yang dapat memberikan perlindungan terhadap konsumen sudah terakomodasi di Indonesia dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen. Namun untuk perlindungan konsumen dalam transaksi e-commerce belum terakomodasi dalam UU Perlindungan Konsumen tersebut. Hal ini terutama disebabkan karena karakteristik dari transaksi e-commerce yang khusus, terutama transaski yang bersifat transnasional yang melewati batas-batas hukum yang berlaku secara nasional.

F. REKOMENDASI

Akhir kata, sebagai rekomendasi maka dapatlah dikemukakan bahwa secara umum demi memberikan perlindungan kepada para pihak dalam transaksi e-commerce serta secara khusus memberikan perlidungan terhadap konsumen dalam transaksi e-commerce, perlu dibuat peraturan hukum mengenai cyberlaw termasuk di dalamnya ketentuan mengenai validitas kontrak yang dilakukan secara elektronik sehingga ketentuan tentang transaksi e-commerce dapat tertampung. Dengan pengaturan tersebut, hak-hak konsumen sebagai pengguna teknologi elektronik dalam proses perdagangan khususnya dalam melakukan transaksi e-commerce dapat lebih terjamin.
Selain itu, untuk konsumen supaya bertindak lebih cermat dan berhati-hati dalam bertransaksi secara elektronik (transaski e-commerce), guna menghindarkan diri dari kerugian. Posting iklan yang dilakukan oleh vendor di Internet misalnya, harus dicermati dengan sungguh-sungguh oleh konsumen baik mengenai penawaran, promosi, serta iklan suatu barang dan/atau jasa. Demikian pula mengenai iklan harus diwaspadai, karena dimungkinkan adanya iklan yang mengelabui konsumen seperti misalnya memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat, karena tidak dapatnya konsumen melihat langsung produk barang atau jasa yang ditawarkan.


***** DAFTAR PUSTAKA

Gautama, Sudargo, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Bandung : Eresco, 1986.

__________, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, Bandung : Bina Cipta, 1987.

Harland, David, The Consumer in the Globalized Information Society : the Impact of the International Organizations, dalam Thomas Wihelmsson, Salla Tuominen and Heli Tuomola, Consumer Law in the Information Society, The Hague Netherlands : Kluwer Law International, 2001

Khairandy, Ridwan, Nandang Sutrisno, Jawahir Thontowi, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, Yogyakarta : Gama Media, 1999.
Magfirah, Esther Dwi, Perlindungan Konsumen dalam E-Commerce, dalam http://www.solusihukum.com/artikel/artikel31.php, 2004.
Nasution, Az., Konsumen dan Hukum, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1995.

Sanusi, M. Arsyad, E-Commerce : Hukum dan Solusinya, Bandung : PT. Mizan Grafika Sarana, 2001.

Seto, Bayu, Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional, Buku Kesatu, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1994.

Sitompul, Asril, Hukum Internet : Pengenalan Mengenai Masalah Hukum di Cyberspace, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2004

Shofie, Yusuf, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, Cetakan Kedua, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003.

Steger, Manfred B., Globalisme : Bangkitnya Ideologi Pasar, Yogyakarta : Lafadl Pusataka, 2005. Diterjemahkan oleh Heru Prasetia dari Globalism, the New Market Ideology, Rowman & Littlefield Publishers, Inc., USA, 2002

Subekti, Aneka Perjanjian, Cetakan Kesembilan, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1992.

Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Burgerlijk Wetboek, Edisi Revisi : Cetakan ke-29, Jakarta : Pradnya Paramita, 1999

Suherman, Ade Maman, Aspek Hukum dalam Ekonomi Global, Edisi Revisi, Bogor : Ghalia Indonesia, 2005.

UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce, diadopsi oleh the United Nations Commission on International Trade Law, Resolution 51/162 of December 16, 1996

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

Wibowo, Arrianto Mukti dkk., Kerangka Hukum Digital Signature dalam Electronic Commerce, dalam http://www.geocities.com/amwibowo/resource/hukum_ttd/hukum_ttd.html