Wednesday, May 7, 2008

FRANCHISE

KONTRAK BISNIS WARALABA (FRANCHISE):
ALTERNATIF PENGEMBANGAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DI ERA GLOBAL
(SUATU KAJIAN YURIDIS)

ABSTRAK

Di era global yang ditandai dengan perdagangan bebas, muncul beragam cara pengembangan usaha baik melalui perdagangan maupun investasi. Salah satu cara pengembangan bisnis atau usaha dapat dilakukan melalui waralaba (franchise). Sebagai negara yang telah menandatangani Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (WTO) atau Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia, bisnis waralaba (franchise) asing maupun lokal merebak di Indonesia. Paper ini selanjutnya bertujuan untuk memaparkan mengenai aspek hukum (kontrak) dalam bisnis waralaba (franchise) serta pengembangan waralaba (franchise) sebagai bentuk kerjasama kemitraan untuk menumbuh kembangkan usaha kecil dan menengah dengan menitikberatkan pada aspek yuridis. Ketentuan yang mengatur mengenai usaha waralaba (franchise) di Indonesia sebenarnya telah cukup memadai. Selain itu dengan karakteristiknya yang khas, yaitu dukungan pemasaran dan operasional, dukungan untuk memulai usaha, dukungan selama beroperasi, dan ketersediaan pelatihan dan tenaga-tenaga ahli, alih teknologi serta alih manajemen dari Pemberi Waralaba (franchisor), bentuk kerjasama waralaba (franchise) ini dapat digunakan sebagai alternatif untuk menumbuhkembangkan usaha kecil dan menengah di Indonesia.

Paper ini berusaha untuk memaparkan mengenai salah satu fenomena globalisasi dalam bidang ekonomi khususnya dalam pengembangan investasi dan bisnis yang dilakukan dengan cara franchising (waralaba). Dengan adanya transformasi atau perubahan yang bersifat global di bidang investasi, dapatkah bisnis waralaba (franchise) ini dijadikan sebagai alternatif kerjasama kemitraan antara pemilik waralaba (franchise) yang umumnya dikuasasi oleh pengusaha besar dengan penerima waralaba (franchise) sebagai upaya untuk menumbuhkembangkan usaha kecil dan menengah di Indonesia ? Sehubungan dengan hal tersebut, maka paper ini akan mendeskripsikan mengenai aspek hukum terutama hukum kontrak bisnis waralaba (franchise) serta pengembangan waralaba (franchise) sebagai bentuk kerjasama kemitraan untuk menumbuh kembangkan usaha kecil dan menengah, dengan kajian yuridis.
Sebelum menjawab permasalahan utama yang diangkat dalam paper, akan dipaparkan beberapa hal yang menurut penulis cukup penting untuk dikemukakan sebagai gambaran umum baik mengenai kontrak dalam bisnis waralaba (franchise) dan perkembangannya dalam era global, maupun beberapa pengaturan serta pengertian-pengertian mengenai pengembangan usaha kecil dan menengah di Indonesia dengan cara waralaba (franchise).

A. PENDAHULUAN

Globalisasi adalah salah satu kata yang sangat sering disebut dalam diskursus di ruang publik serta studi mengenai transfomasi atau perubahan sosial yang terjadi saat ini. Meskipun tidak dapat menggambarkan seluruh fenomena baru yang ada, globalisasi saat ini sering dilukiskan sebagai penyusutan atau pemampatan terhadap ruang dan waktu yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang mencerminkan peningkatan interkoneksi serta interdependensi sosial, politik, ekonomi, dan kultural masyarakat dunia.
Euforia mengenai globalisasi ini menjalar secara perlahan dan mulai mempengaruhi seluruh aspek kehidupan manusia sehubungan dengan peningkatan serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sehubungan dengan hal tersebut, kajian-kajian ekonomi mengenai globalisasi kemudian menyampaikan pandangan bahwa esensi dari globalisasi adalah mengenai ‘meningkatnya’ keterkaitan ekonomi nasional melalui perdagangan, aliran keuangan dan penanaman modal atau investasi asing secara langsung (foreign direct investment).1
Seiring dan sejalan dengan perkembangan globalisasi, dunia perdagangan dan dunia bisnis juga ikut berkembang. Dalam dunia bisnis misalnya, globalisasi tidak hanya sekedar berdagang di beberapa negara di dunia, tetapi berdagang di seluruh dunia dengan cara baru yang menjaga keseimbangan antara kualitas global dari produksi dengan kebutuhan khas yang bersifat lokal dari konsumen2.
Beragam cara untuk pengembangan usaha melalui perdagangan maupun investasi yang bertujuan untuk meningkatkan tingkat perekonomian,juga berkembang. Salah satu cara pengembangan bisnis atau usaha dapat dilakukan melalui franchise. Kerjasama bisnis franchise merupakan suatu pola yang berkembang pesat baik di bidang perdagangan barang maupun jasa.
Pengembangan usaha melalui franchise ini dalam beberapa tahun terakhir mulai diterapkan oleh di Indonesia. Sampai dengan bulan Maret 1996 misalnya diperkirakan telah beroperasi 119 (seratus sembilan belas) franchise asing, sedangkan untuk franchise lokal sekitar 32 (tiga puluh dua) perusahaan3. Berdasarkan studi yang dilakukan suatu konsultan waralaba, pertumbuhan waralaba nasional atau lokal dari tahun 1991 sampai tahun 1996 rata-rata 10,47 persen/tahunnya, sedangkan pertumbuhan waralaba asing meroket rata-rata 376,6 persen/tahun. Namun setelah memasuki krisis moneter secara akumulatif, terjadi penurunan yang sangat drastis pertumbuhan waralaba asing menjadi 7,67 persen, sebaliknya pewaralaba lokal tumbuh rata-rata 9,84 persen pertahunnya4.
Perkembangan bisnis dengan franchise (waralaba) terutama waralaba asing di Indonesia sulit untuk dihindari karena Indonesia telah menandatangani Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (WTO) atau Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1994, sehingga negara kita menjadi terbuka baik bagi penanaman modal asing maupun pengembangan bisnis asing.
Franchise merupakan kerjasama bisnis dan secara teknis dapat dipahami sebagai suatu metode perluasan pasar yang digunakan oleh sebuah perusahaan yang dianggap sukses dan berkehendak memperluas distribusi perdagangan barang atau jasa melalui unit-unit bisnis eceran yang dijalankan oleh pengusaha-pengusaha independen dengan menggunakan merek dagang atau merek jasa, teknik pemasaran dan berada di bawah pengawasan dari perusahaan biasanya dengan imbalan pembayaran fee dan royalties. Selain persoalan-persoalan yuridis, ada hal lain yang lebih diutamakan dalam bisnis franchise yaitu jaminan bahwa para pihak secara bisnis dapat diandalkan untuk bekerjasama, kemampuan managerial serta bonafiditas untuk bersama-sama membangun kerjasama bisnis.
Istilah franchise sendiri untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Isaac Singer pada tahun 1851. Secara umum franchise atau waralaba (di Indonesia digunakan istilah waralaba) berarti suatu persetujuan dari pemilik suatu produk atau jasa tertentu yakni Pemberi Waralaba yang memberikan hak kepada pihak lain untuk mempergunakan atau memasarkan produk atau jasa tersebut dengan persyaratan tertentu.5
Dipilihnya sistem waralaba sebagai alternatif membuka bisnis atau investasi baru adalah untuk menekan biaya yang diperlukan dalam memulai usaha. Dengan pertimbangan produk atau jasa tersebut biasanya telah terbukti kualitasnya, dikenal, dan telah memiliki pangsa pasar yang jelas, diharapkan resiko kegagalan usaha dapat dikurangi. Terlebih lagi, untuk kegiatan-kegiatan operasional, penerima waralaba memperoleh dukungan pemasaran dan operasional termasuk didalamnya dukungan untuk memulai usaha, dukungan selama beroperasi, dan ketersediaan pelatihan dan tenaga-tenaga ahli dari Pemberi Waralaba.
Sebelum membahas mengenai bisnis waralaba (franchise) sebagai alternatif pengembangan usaha kecil dan menengah, maka di bawah ini akan dipaparkan mengenai aspek hukum (kontrak) bisnis waralaba (franchise).

B. ASPEK HUKUM (KONTRAK) BISNIS WARALABA (FRANCHISE)

B.1. Definisi Waralaba (Franchise)
Dictionary of Business Terms mendefinisikan usaha franchise sebagai berikut :
Suatu izin yang diberikan oleh sebuah perusahaan (franchisor) kepada seseorang atau kepada suatu perusahaan (franchisee) untuk mengoperasikan suatu outlet retail, makanan atau supermarket di mana pihak franchisee setuju untuk menggunakan milik franchisor berupa nama, produk, servis, promosi, penjualan, distribusi, metode untuk display, dan lain-lain hal yang berkenaan dengan company support.
Hak untuk memasarkan barang-barang atau jasa perusahaan (company’s goods and service) dalam suatu wilayah tertentu. Hak tersebut telah diberikan oleh perusahaan kepada seseorang atau kelompok individu, kelompok marketing, pengecer atau grosir6.

Dalam Ensiklopedia Nasional Indonesia pengertian franchising atau sistem franchise adalah sebagai berikut :
Suatu bentuk kerjasama manufaktur atau penjualan antara pemilik franchise dan pembeli franchise atas dasar kontrak dan pembayaran royalty. Kerjasama ini meliputi pemberian lisensi atau hak pakai oleh pemegang franchise yang memiliki nama atau merek, gagasan, proses, formula, atau alat khusus ciptaannya kepada pihak pembeli franchise disertai dukungan teknis dalam bentuk manajemen, pelatihan, promosi, dan sebagainya. Untuk itu, pembeli franchise membayar hak pakai tersebut disertai royalty, yang pada umumnya merupakan prosentase dari jumlah penjualan.7

Dalam Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 1997 tentang Waralaba disebutkan bahwa waralaba adalah perikatan dimana salah satu pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan pihak lain tersebut, dalam rangka penyediaan dan atau penjualan barang dan atau jasa.
Dalam PP No. 17 Tahun 1997 tentang Waralaba tersebut disebutkan pula bahwa Pemberi Waralaba (franchisor) adalah badan usaha atau perorangan yang memberikan hak kepada pihak lain untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimilikinya; sedangkan Penerima Waralaba (franchisee) adalah badan usaha atau perorangan yang diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas yang dimiliki Pemberi Waralaba.
Berdasarkan PP 17 Tahun 1997 disebutkan bahwa Waralaba diselenggarakan berdasarkan perjanjian tertulis antara Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba, di mana perjanjian Waralaba dibuat dalam bahasa Indonesia dan terhadapnya berlaku hukum Indonesia.
Dari beberapa definisi mengenai franchise, dapat dilihat bahwa setiap model perjanjian franchise sekurang-kurang memuat unsur-unsur sebagai berikut:
adanya perjanjian atau perikatan antara dua pihak, yaitu pihak pemberi waralaba (franchisor) dan pihak penerima waralaba (franchise).
pihak franchisor memberikan suatu hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimilikinya kepada pihak franchisee yang berupa nama, produk, servis, promosi, penjualan, distribusi, metode untuk display, dan lain-lain hal yang berkenaan dengan company support.
pihak franchisee memiliki kewajiban untuk memberikan imbalan;
perjanjian atau perikatan dilakukan dalam rangka penyediaan barang atau jasa;
adanya syarat-syarat lain yang harus dipenuhi masing-masing pihak.8

Dengan demikian sesungguhnya karakteristik bisnis waralaba ini akan berhubungan tidak saja dengan hukum perjanjian tetapi juga berhubungan dengan hak cipta, paten dan merek, aspek hukum ketenagakerjaan, aspek hukum perpajakan, rahasia dagang, bahkan aspek hukum perdata internasional bila salah satu pihak berasal dari luar Indonesia.

B.2. Jenis-Jenis Waralaba (Franchise)

Jenis-jenis usaha franchise dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu :
franchise format bisnis, yang terdiri dari franchise pekerjaan, franchise usaha dan franchise investasi;
franchise distribusi pokok.
Untuk franchise format bisnis, seseorang pemegang franchise (franchisee) memperoleh hak untuk memasarkan dan menjual produk atau pelayanan dalam suatu wilayah atau lokasi yang spesifik dengan menggunakan standar baik dalam operasional usaha maupun pemasaran. Ada 3 (tiga) jenis format bisnis franchise, yaitu :
franchise pekerjaan :
franchise yang menjalankan usaha pekerjaan adalah usaha franchise yang memberikan dukungan untuk usahanya sendiri. Sebagai contoh misalnya menjual jasa penyetelan mesin mobil dengan merek tertentu. Bentuk franchise ini paling murah dan umumnya hanya membutuhkan modal kecil karena tidak menggunakan temapt dan perlengkapan yang berlebihan.
franchise usaha :
franchise usaha adalah jenis franchise yang paling berkembang. Bentuknya dapat berupa toko eceran yang menyediakan barang atau jasa, atau restoran cepat saji (fast food). Biaya yang dibutuhkan untuk franchise jenis ini biasanya lebih besar karena dibutuhkan tempat usaha yang memenuhi kriteria yang diwajibkan oleh pemberi franchise (waralaba).
franchise investasi :
franchise investasi adalah jenis franchise yang paling banyak membutuhkan biaya atau modal (nilai investasi yang besar). Perusahaan yang mengambil franchise investasi biasanya ingin melakukan diversifikasi usaha namun kurang berpengalaman dalam pengelolaan manajemen. Contoh usaha franchise ini adalah usaha perhotelan yang hendak menggunakan nama dan standar pelayanan hotel milik franchisor.

Jenis franchise distribusi pokok adalah jenis franchise dengan memberikan lisensi untuk memasarkan produk dari suatu perusahaan tunggal dalam lokasi tertentu yang ditentukan (sub-franchise). Dalam hal ini franchisee membeli hak untuk mengoperasikan atau menjual franchise di wilayah (geografis) tertentu dan bertanggung jawab atas beberapa atau seluruh pemasaran franchise, melatih atau membantu franchisee baru serta melakukan pengendalian, dukungan operasional serta penagihan royalty.

B.3. Karakteristik Bisnis Waralaba (Franchise)
Bisnis waralaba (franchise) memiliki beberapa karakteristik tertentu. Karakteristik ini sesungguhnya yang menyebabkan bisnis dengan model franchise dirasakan cukup menguntungkan.
Karakteristik tersebut misalnya mengenai keunikan produk, adanya pelatihan manajemen dan ketrampilan khusus yang wajib diberikan franchisor kepada franchisee, pengendalian dan penyeragaman mutu produk, promosi dan periklanan oleh franchisor, pemilihan lokasi serta daerah pemasaran yang eksklusif, sebagian bisnis franchise mendapatkan bantuan pendanaan dari pihak franchisor atau lembaga keuangan, adanya fee atau royalty yang harus dibayarkan oleh franchisee pada franchisor, didaftarkannya merek dagang, paten atau hak cipta serta pembelian produk langsung dari franchisor.

B.4. Biaya-biaya yang Timbul dalam Usaha Waralaba (Franchise)
Ada beberapa biaya yang timbul dari pelaksanaan perjanjian franchise ini. Biaya-biaya tersebut antara lain adalah :
Royalty.
Royalty adalah pembayaran yang harus dilakukan oleh pihak franchisee kepada franchisor sebagai imbalan dari pemakaian hak franchise oleh franchisee.
Franchise fee.
Franchise fee merupakan pembayaran atas biaya franchise. Biasanya pembayaran ini dilakukan untuk jumlah tertentu yang pati dan dilakukan sekaligus dan dibayarkan pada tahap bisnis franchise akan dimulai atau pada saat penandatanganan akta perjanjian franchise.
Direct expenses.
Direct expenses merupakan biaya langsung yang harus dikeluarkan oleh franchisee sehubungan dengan pengoperasian suatu usaha franchise, misalnya biaya pelatihan manajemen atau ketrampilan tertentu.
Marketing dan advertising fees.
Marketing atau advertising fees adalah biaya yang harus dikeluarkan untuk memasarkan atau mempromosikan bisnis franchise.
Assignment fees.
Biaya yang lain adalah biaya Assignment fees yang harus dibayarkan oleh franchisee kepada franchisor bila akan mengalihkan bisnisnya kepada pihak lain. Biaya ini biasanya meliputi biaya untuk membuat perjanjian penyerahan serta pelatihan pemegang franchise yang baru karena pengalihan bisnis.9

B.5. Dasar Hukum dalam Bisnis Waralaba (Franchise)

Karena bisnis atau usaha waralaba (franchise) adalah salah satu jenis usaha yang dilakukan dengan suatu perjanjian atau perikatan, maka dasar hukum untuk beroperasinya dalam hal ini adalah pasal–pasal dalam KUH Perdata yang mengatur mengenai perikatan-perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau perjanjian.
Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata menegaskan mengenai berlakunya asas kebebasan berkontrak (beginsel der contractvrijheid), yaitu semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya (pacta sunt servanda). Walaupun Pasal 1338 mengatur mengenai asas kebebasan berkontrak namun dalam ditegaskan pula bahwa walaupun para pihak sebenarnya bebas membuat suatu kontrak atau perjanjian, namun perjanjian tersebut tidak boleh bertentangan dengan hukum positif, kepatutan dan ketertiban umum.
Sedangkan untuk sahnya suatu kontrak atau perjanjian berlaku Pasal 1320 KUH Perdata. Mengenai syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu adanya kesepakatan antara para pihak, dilakukan oleh orang yang cakap hukum, adanya hal atau obyek tertentu dan adanya suatu causa atau sebab yang halal.10
Sehubungan dengan kontrak waralaba, Syahmin AK menyatakan bahwa karena kontrak waralaba (franchising agreement) nantinya akan mengikat, baik bagi franchisor maupun bagi franchisee, maka menurutnya sangat penting bagi franchisor maupun franchisee untuk mengatur kontrak secara lebih terperinci.11
Usaha waralaba (franchise) selalu berkaitan dengan merek, paten dan hak cipta karena franchise pada dasarnya menggunakan izin atau lisensi merek dagang, paten atau hak cipta dari franchisor. Dengan demikian, atas penggunaan lisensi tersebut, pihak franchisee mempunyai kewajiban untuk membayar fee atau royalty pada pihak franchisor. Selain itu, bisnis waralaba (franchise) juga tunduk pada peraturan perundang-undangan yang lain di Indonesia seperti undang-undang Perseroan Terbatas bila usaha waralaba (franchise) tersebut berbentuk PT, hukum ketenagakerjaan, hukum perpajakan, hukum perlindungan konsumen serta peraturan-peraturan lain yang terkait dengan izin usaha, izin Undang-Undang Gangguan (hinderordonantie) dsb.
Untuk pendaftaran usaha waralaba dalam Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 12/M-DAG/PER/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba Penerima Waralaba harus memiliki Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba (STPUW). Untuk mendapatkan STPUW tersebut, Penerima Waralaba harus mendaftarkan perjanjiannya di Departemen Perdagangan. Dalam hal Penerima Waralaba lalai untuk melakukan pendaftaran setelah diberikan 3 (tiga) kali peringatan, maka Surat Izin Usaha Perdagangannya (SIUP) atau ijin-ijin usaha sejenis milik Penerima Waralaba dapat dicabut.

B.6. Kewajiban Para Pihak

Sesuai dengan perjanjian yang dibuat oleh pihak franchisor dan franchisee, pada dasarnya kewajiban franchisor hanyalah berupa penyediaan atau pemberian hak kepada franchisee untuk menggunakan merek dagang, identitas perusahaan, atau memasarkan dan menjual produk atau jasanya untuk waktu dan tempat tertentu sebagaimana disepakati dalam perjanjian franchise. Kewajiban lain yang dimiliki franchisor adalah :
melakukan pembinaan terhadap usaha yang dijalankan franchisee baik secara operasional, manajemen maupun keuangan.
memberikan pedoman operasi usaha franchise yang dijalankan dan disepakati para pihak.

Untuk kewajiban pokok franchisee, utamanya ada 2 (dua) macam yaitu :

membayar fee atau jasa kepada franchisor atas penggunaan nama merek dagang atau identitas usaha franchisor.
menjaga kualitas dan nama baik (brand image) franchisor.

Selain dua kewajiban pokok tersebut, franchisee masih memiliki berbagai kewajiban yang disertakan dalam klausul-klausul kontrak franchise misalnya memberikan laporan atas kegiatan usaha, kewajiban mengikuti standar operasi dan spesifikasi yang telah ditentukan franchisor serta kewajiban-kewajiban lainnya.

B.7. Beberapa Klausula Penting dalam Bisnis Waralaba (Franchise)

Dalam Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 12/M-DAG/PER/3/2006 diatur sedikitnya beberapa klausula yang harus dimuat dalam suatu perjanjian waralaba (franchise). Klausul dalam perjanjian waralaba tersebut harus memuat paling setidaknya :
Nama dan alamat perusahaan para pihak;
Nama dan jenis Hak Kekayaan Intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha seperti sistem manajemen, cara penjualan atau penataan atau distribusi yang merupakan karakteristik khusus yang menjadi Objek Waralaba;
Hak dan kewajiban para pihak serta bantuan dan fasilitas yang diberikan kepada Penerima Waralaba;
Wilayah usaha (zone) Waralaba;
Jangka waktu perjanjian;
Perpanjangan, pengakhiran dan pemutusan perjanjian;
Cara penyelesaian perselisihan;
Tata cara pembayaran imbalan;
Pembinaan, bimbingan dan pelatihan kepada Penerima Waralaba.

Selain klausul tersebut, dalam Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 12/M-DAG/PER/3/2006 diatur bahwa sebelum membuat perjanjian, Pemberi Waralaba wajib memberikan keterangan tertulis atau prospektus mengenai data atau informasi usahanya dengan benar kepada Penerima Waralaba yang paling sedikit memuat :
Identitas Pemberi Waralaba, berikut keterangan mengenai kegiatan usahanya termasuk neraca dan daftar rugi laba 1 (satu) tahun terakhir;
Hak Kekayaan Intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang menjadi objek waralaba disertai dokumen pendukung;
Keterangan tentang kriteria atau persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi Penerima Waralaba termasuk biaya investasi;
Bantuan atau fasilitas yang diberikan Pemberi Waralaba kepada Penerima Waralaba;
Hak dan Kewajiban antara Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba; dan
Data atau informasi lain yang perlu diketahui oleh Penerima Waralaba dalam rangka pelaksanaan perjanjian Waralaba.

Menurut Johannes Ibrahim, hal penting yang harus diperhatikan dalam membuat perjanjian atau klausul-kausul dalam waralaba (franchise) adalah masalah kecermatan agar kerjasama bisnis yang dijalankan dapat menguntungkan kedua belah pihak secara seimbang. Dengan mensitasi pendapat salah satu pakar bisnis waralaba (franchise) Martin Mandelson, dinyatakan bahwa ciri-ciri fundamental, karakteristik serta syarat-syarat suatu transaksi harus tetap dijaga. Sekali keutuhan konsep dan sistem yang telah di-franchise-kan dirusak, maka masa depan pengembangan franchise akan penuh dengan resiko.12

C. PERJANJIAN (KONTRAK) STANDAR DALAM BISNIS WARALABA

Salah satu permasalahan yang timbul dalam pembuatan perjanjian waralaba dalah pembuatan perjanjian (kontrak) dengan bentuk standar atau baku, --karena dalam prakteknya perjanjian waralaba (franchise) hampir selalu dibuat dalam bentuk perjanjian standar dengan klausula baku--, mengingat perjanjian ini selalu berkaitan dengan permohonan pihak penerima waralaba (franchisee) untuk dapat menggunakan merek dagang dari pemberi waralaba (franchisor). Penggunaan bentuk perjanjian standat dengan klausula baku ini terutama berkaitan dengan kedudukan pemberi waralaba (franchisor) yang harus memproteksi hak-hak istimewanya baik menyangkut merek dagang, hak paten maupun rahasia dagang yang dimiliki pihak pemberi waralaba (franchisor).
Dengan digunakannya bentuk perjanjian standar dengan klausula baku tersebut, umumnya memang kedudukan para pihak dalam perjanjian waralaba (franchise) menjadi kurang seimbang, di mana kedudukan franchisor cenderung lebih kuat atau dominan daripada kedudukan franchisee.
Perjanjian standar atau perjanjian baku dialihbahasakan dari istilah Bahasa Belanda standard voorwaarden, di Jerman digunakan istilah allgemeine geschafts bedingun, sedangkan di Inggris digunakan istilah standard contract atau sering karena sifat massal dan kolektifnya dinamakan sebagai take it or leave it contract.13 Pada umumnya model perjanjian dengan perjanjian standar ini sudah menjadi kebiasaan dalam masyarakat karena sangat dibutuhkan dalam dunia bisnis.
Mengenai perjanjian standar, Treitel memberikan definisi sebagai :
The terms of many contracts are set out in printed standard forms which are used for all contracts of the same kind, and are only varied so far as the circumstances of each contracts require dengan terjemahan sebagai berikut : syarat-syarat dalam perjanjian yang ditampilan dalam bentuk formulir yang dicetak dalam bentuk baku yang digunakan untuk semua perjanjian yang sama jenisnya, dan hanya berbeda sepanjang diperlukan oleh suatu keadaan.14

Hondius merumuskan perjanjian baku sebagai sebuah konsep perjanjian tertulis yang disusun tanpa membicarakan isinya dan lazimnya dituangkan ke dalam sejumlah perjanjian tidak terbatas yang sifatnya tertentu. Selanjutnya Mariam Darus Badrulzaman menjelaskan bahwa perjanjian baku adalah perjanjian yang di dalamnya dibakukan syarat eksenorasi dan dituangkan dalam bentuk formulir.15
Sehubungan dengan pengertian yang diungkapkan Mariam Darus Badrulzaman di atas, yang dimaksud dengan klausula eksenorasi adalah klausul yang dicantumkan dalam suatu perjanjian yang mana satu pihak menghindarkan diri untuk memenuhi kewajibannya membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas yang disebabkan karena wanprestasi atau perbuatan melawan hukum16. Jadi syarat eksenorasi sendiri adalah syarat-syarat dalam suatu perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya dalam perjanjian tersebut.17
Dari apa yang diungkapkan di atas, maka dapat dilihat bahwa perjanjian standar memiliki beberapa ciri tertentu yaitu bentuk perjanjian tertulis, format perjanjian yang sudah distandarisasi, syarat-syarat yang sudah ditentukan sebelumnya (umumnya oleh satu pihak), pihak lain hanya dapat menerima atau menolak perjanjian tersebut, terkadang ada pembebanan tanggungjawab hanya pada satu pihak.
Banyak ahli hukum menilai perjanjian standar sebagai perjanjian yang tidak sah, cacat, dan bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak, tetapi dalam realitanya perjanjian standar sangat dibutuhkan dalam dunia bisnis dengan alasan efisiensi dalam pengeluaran biaya, tenaga dan waktu dan sudah banyak berlaku dalam masyarakat sebagai suatu kebiasaan.
Dari apa yang diungkapkan di atas, pertanyaan penting yang harus terjawab sehubungan dengan penggunaan perjanjian standar dalam bisnis waralaba (franchise) adalah apakah perjanjian baku memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian, antara lain untuk memenuhi asas kebebasan berkontrak?
Seperti sudah disebutkan di atas, pasal 1320 KUH Perdata menetapkan 4 (empat) syarat untuk sahnya suatu perjanjian yaitu adanya kesepakatan antara para pihak, dilakukan oleh orang yang cakap hukum, adanya hal atau obyek tertentu dan adanya suatu causa atau sebab yang halal. Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri adalah asas yang esensial dalam hukum perjanjian sehingga asas ini disebut juga dengan asas konsesualisme yang menentukan adanya raison d’etre atau het bestaanwaarde perjanjian. Asas konsensualisme ini mengandung arti ‘kemauan’ atau will para pihak untuk saling berprestasi, saling mengikatkan diri atau dengan kata lain pacta sund servanda yaitu bahwa janji itu mengikat dan harus dipenuhi (promisorum impledorum obligation). Asas ini mempunyai hubungan erat dengan asas kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. 18
Kita melihat bahwa dalam perjanjian waralaba (franchise) memang ada perbedaan posisi para pihak --apabila perjanjian dibuat secara standar--, di mana posisi penerima waralaba (franchisee) cenderung lebih lemah dan terkadang kurang memiliki posisi tawar atau real bargaining dengan pihak pemberi waralaba (franchisor). Dengan demikian apakah hal ini melanggar asas kebebasan berkontrak?
Mengenai hal ini ada dua paham yang memberikan jawaban. Sluijter misalnya mengatakan bahwa perjanjian baku bukanlah perjanjian, sebab kedudukan para pihak tidak seimbang di mana kedudukan pengusaha (dalam hal ini franchisor) seperti pembentuk undang-undang swasta (legio particuliere wetgever), sehingga syarat-syarat yang ditentukan dalam perjanjian tersebut adalah undang-undang bukan perjanjian. Namun paham lain mengatakan sebaliknya. Pitlo misalnya mengatakan sebagai perjanjian paksa (dwang contract), walaupun secara teoritis yuridis perjanjian baku ini tidak memenuhi ketentuan undang-undang dan oleh ahli hukum ditolak, namun kenyataannya kebutuhan masyarakat berjalan dalam arah yang berlawanan dengan keinginan hukum.
Stein mencoba memecahkan masalah ini dengan mengemukakan pendapat bahwa perjanjian baku dapat diterima sebagai perjanjian, berdasarkan fiksi adanya kemauan dan kepercayaan (fictie van wil en vertrouwen) yang membangkitkan kepercayaan bahwa para pihak mengikatkan diri pada perjanjian itu. Dengan demikian secara sukarela para pihak setuju pada isi perjanjian itu. Hondius-pun mempertahankan bahwa perjanjian baku mempunyai kekuatan mengikat berdasarkan kebiasaan (gebruik) yang berlaku di lingkungan masyarakat dan lalu lintas perdagangan19.
Dengan demikian mengenai isi serta validitas perjanjian standar dalam perjanjian waralaba (franchise) umumnya memang sudah diterima dan mempunyai kekuatan mengikat sebagai kebiasaan karena penggunaannya dalam lingkungan masyarakat dan lalu lintas perdagangan. Dengan demikian dalam prakteknya, pihak penerima waralaba (franchisee) harus dengan teliti dan cermat dan dengan penuh kehati-hatian memeriksa seluruh isi perjanjian untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari.

D. UPAYA MENUMBUHKEMBANGKAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DENGAN KERJASAMA KEMITRAAN BERBENTUK WARALABA (FRANCHISE).

Dalam rangka menumbuhkembangkan usaha kecil dan menengah di Indonesia serta mengoptimalkan peransertanya dalam pembangunan, pada tahun 1995 pemerintah mengeluarkan undang-undang No. UU 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil.
Yang dimaksud dengan Usaha Kecil dalam UU No. 9 Tahun 1995 adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan memenuhi beberapa kriteria20. Dalam Penjelasan UU No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil dinyatakan bahwa usaha kecil adalah suatu jenis usaha yang merupakan bagian integral dunia usaha nasional mempunyai kedudukan, potensi, dan peranan yang sangat penting dan strategis dalam mewujudkan tujuan Pembangunan Nasional pada umumnya dan tujuan pembangunan ekonomi pada khususnya.
Usaha Kecil merupakan kegiatan usaha yang mampu memperluas lapangan kerja dan memberikan pelayanan ekonomi yang luas pada masyarakat dapat berperan dalam proses pemerataan dan meningkatkan pendapatan masyarakat, serta mendorong pertumbuhan ekonomi dan berperan dalam mewujudkan stabilitas nasional pada umumnya dan stabilitas pada khususnya.
Kenyataan memang menunjukkan bahwa Usaha Kecil masih belum dapat mewujudkan kemampuan dan peranannya secara optimal dalam perekonomian nasional, yang disebabkan oleh kenyataan bahwa Usaha Kecil masih menghadapi berbagai hambatan dan kendala, baik yan bersifat eksternal maupun internal, dalam bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, permodalan, sumber daya manusia, dan teknologi, serta iklim usaha yang belum mendukung bagi perkembangannya.
Dalam rangka mengembangkan usaha kecil ini, maka baik pemerintah, dunia usaha maupun masyarakat diharapkan melalukan pemberdayaan dalam bentuk penumbuhan iklim usaha, bimbingan, bantuan, pembinaan dan pengembangan sehingga Usaha Kecil mampu menumbuhkan dan memperkuat dirinya menjadi usaha yang tangguh dan mandiri.
Dalam UU No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil dijelaskan bahwa Pemberdayaan Usaha Kecil sendiri bertujuan untuk:
menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan Usaha Kecil menjadi usaha yang tangguh dan mandiri serta dapat berkembang menjadi Usaha Menengah;
meningkatkan peranan Usaha Kecil dalam pembentukan produk nasional, perluasan kesempatan kerja dan berusaha, meningkatkan ekspor, serta peningkatan dan pemerataan pendapatan untuk mewujudkan dirinya sebagai tulang punggung serta memperkukuh struktur perekonomian nasional.

Selain melakukan upaya pemberdayaan, pemerintah berupaya pula untuk menumbuhkan iklim usaha yaitu suatu kondisi berupa penetapan berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan di berbagai aspek kehidupan ekonomi agar Usaha Kecil memperoleh kepastian kesempatan yang sama dan dukungan berusaha yang seluas-luasnya. Pemerintah menumbuhkan iklim usaha dalam aspek persaingan dengan menetapkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan untuk:
meningkatkan kerja sama sesama Usaha Kecil dalam bentuk koperasi, asosiasi, dan himpunan kelompok usaha untuk memperkuat posisi tawar Usaha Kecil;
mencegah pembentukan struktur pasar yang dapat melahirkan persaingan yang tidak wajar dalam bentuk monopoli, oligopoli, dan monopsoni yang merugikan Usaha Kecil;
mencegah terjadinya penguasaan pasar dan pemusatan usaha oleh orang-perseorangan atau kelompok tertentu yang merugikan Usaha Kecil.

Sehubungan dengan pemberdayaan usaha kecil ini, maka dalam UU No. 9 Tahun 1995 diatur pula suatu pola kerjasama yang disebut sebagai kemitraan yaitu suatu hubungan kerjasama usaha antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah atau dengan Usaha Besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh Usaha Menengah atau Usaha Besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1998 tentang Pembinaan dan Pengembangan Usaha Kecil diatur mengenai peran Pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat dalam melakukan pembinaan dan pengembangan Usaha Kecil. Pembinaan tersebut meliputi bidang:
Produksi dan pengolahan;
Pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat melakukan pembinaan dan pengembangan dalam bidang produksi dan pengolahan dengan:
meningkatkan kemampuan manajemen serta teknik produksi dan pengolahan;
meningkatkan kemampuan rancang bangun dan perekayasaan;
memberikan kemudahan dalam pengadaan sarana dan prasarana produksi dan pengolahan, bahan baku, bahan penolong, dan kemasan.
Pemasaran;
Pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat melakukan pembinaan dan pengembangan dalam bidang pemasaran, baik di dalam maupun di luar negeri, dengan:
melaksanakan penelitian dan pengkajian pemasaran;
meningkatkan kemampuan manajemen dan teknik pemasaran;
menyediakan sarana serta dukungan promosi dan uji coba pasar;
mengembangkan lembaga pemasaran dan jaringan distribusi;
memasarkan produk Usaha Kecil.
Sumber daya manusia;
Pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat melakukan pembinaan dan pengembangan dalam bidang sumber daya manusia dengan:
memasyarakatkan dan membudayakan kewirausahaan;
meningkatkan keterampilan teknis dan manajerial;
membentuk dan mengembangkan lembaga pendidikan, pelatihan, dan konsultasi Usaha Kecil;
menyediakan tenaga penyuluh dan konsultan Usaha Kecil.
d. Teknologi.
Pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat melakukan pembinaan dan
pengembangan dalam bidang teknologi dengan:
meningkatkan kemampuan di bidang teknologi produksi dan pengendalian mutu;
meningkatkan kemampuan di bidang penelitian untuk mengembangkan desain dan teknologi baru;
memberi insentif kepada Usaha Kecil yang menerapkan teknologi baru dan melestarikan lingkungan hidup;
meningkatkan kerjasama dan alih teknologi;
meningkatkan kemampuan memenuhi standardisasi teknologi;
menumbuhkan dan mengembangkan lembaga penelitian dan pengembangan di bidang desain dan teknologi bagi Usaha Kecil.

Kemitraan sendiri adalah kerja sama antara usaha kecil dengan usaha menengah atau dengan usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh usaha menengah atau usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan dalam salah satu atau lebih bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, permodalan, sumber daya manusia, dan teknologi, di mana kedua belah pihak mempunyai kedudukan hukum yang setara.
Selain dengan cara pola inti-plasma, pola sub-kontrak, pola dagang umum dan pola keagenan, serta bentuk-bentuk lain yang sudah dan akan berkembang, disebutkan dalam UU No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil bahwa salah satu cara untuk melakukan kerjasama serta kemitraan antara adalah dengan pola waralaba (franchise) yaitu suatu hubungan kemitraan yang didalamnya pemberi waralaba memberikan hak penggunaan lisensi, merek dagang, dan saluran distribusi perusahaannya kepada penerima waralaba dengan disertai bantuan bimbingan manajemen.
Hubungan kemitraan ini diharapkan dapat dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis yang sekurang-kurangnya mengatur bentuk dan lingkup kegiatan usaha kemitraan, hak dan kewajiban masing-masing pihak, bentuk pembinaan dan pengembangan, serta jangka waktu dan penyelesaian perselisihan.
Sehubungan dengan hubungan kemitraan ini maka kemudian Pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden No. 127 Tahun 2001 tentang Bidang/Jenis Usaha yang Dicadangkan untuk Usaha Kecil dan Bidang/Jenis Usaha yang terbuka untuk Usaha Menengah atau besar dengan Syarat Kemitraan.
Dalam Pasal 2 Ayat (3) Keputusan Presiden No. 127 Tahun 2001 tersebut dinyatakan bahwa agar dapat meningkatkan kesempatan berusaha serta kemampuan manajemen dalam satu atau lebih aspek di bidang produksi dan pengolahan,pemasaran, sumber daya manusia, teknologi, penyediaan bahan baku, pengelolaan usaha dan pendanaan usaha menengah atau usaha besar dalam melakukan kemitraan wajib memberikan pembinaan kepada usaha kecil salah satunya dengan cara waralaba.
Penyelenggaraan Waralaba pada dasarnya dilakukan secara bertahap terutama di ibukota Propinsi. Pengembangan Waralaba di luar ibukota Propinsi, seperti di ibukota Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II dan tempat-tempat tertentu lainnya yang memerlukan kehadiran jasa Waralaba dilakukan secara bertahap dan dengan memperhatikan keseimbangan antara kebutuhan usaha dan tingkat pertumbuhan sosial dan ekonomi terutama dalam rangka pengembangan usaha kecil dan menengah di wilayah yang bersangkutan.
Secara administratif di Indonesia, peraturan mengenai waralaba (franchise) diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1997 tentang Waralaba serta Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 12/M-DAG/PER/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba21.
Dengan pengaturan-pengaturan di atas, sesungguhnya eksistensi bisnis waralaba (franchise) di Indonesia telah memiliki pijakan serta dasar hukum yang cukup kuat.
Sehubungan dengan sifat kemapanan baik dari aspek modal, manajemen, operasional maupun jenis produk yang ditawarkan dari sebuah perusahaan yang menawarkan franchise, dapatkah hal ini digunakan untuk ikut menumbuh kembangkan usaha kecil dan menengah yang ada di Indonesia ? Dapatkah kemitraan yang sejajar dengan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan dibangun berlandaskan kerjasama dengan bentuk franchise ini ?
Dalam beberapa hal, ada sekalangan pihak yang mempertanyakan eksistensi dari bisnis waralaba ini. Pertanyaan tersebut adalah seputar permasalahan mengenai larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, karena biasanya pemilik franchise adalah kalangan yang bermodal besar dan cukup memahami pangsa pasar atau keinginan konsumen karena barang/jasa yang ditawarkan telah teruji kemapanannya.
Sehubungan dengan hal ini, secara tegas dinyatakan dalam Pasal 50 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat bahwa bisnis waralaba dan juga perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang dikecualikan sebagai perjanjian yang dilarang dalam ketentuan undang-undang tersebut. Selain itu perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa yang tidak mengekang dan atau menghalangi persaingan; dan atau perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan juga dikecualikan dari ketentuan UU No. 5 Tahun 1999.
Mengenai keberlakuan perjanjian standar dalam perjanjian waralaba (franchise) sendiri telah diterangkan di atas, sehingga dari isi perjanjian standar tersebut serta klausul eksenorasi harus dilihat secara seimbang siapa yang akan bertanggung jawab apabila ada perbuatan melanggar hukum, dalam arti pihak pemberi waralaba (franchisor) tidak dapat dengan otomatis menyerahkan pembebanan tanggungjawab kepada pihak penerima waralaba (franchisee) apabila kesalahan dilakukan oleh pihak pemberi waralaba (franchisor). Klausul eksenorasi yang demikian harus dianggap sebagai cacat hukum sehingga harus dianggap sebagai tidak sah.
Sebagai suatu perjanjian, berdasarkan fiksi adanya kemauan dan kepercayaan (fictie van wil en vertrouwen) yang membangkitkan kepercayaan bahwa para pihak mengikatkan diri pada perjanjian itu para pihak tunduk secara sukarela pada isi perjanjian itu. Dengan demikian kerjasama bisnis franchise adalah jenis kerjasama yang memang membutuhkan kepercayaan (trust) antara kedua belah pihak. Kerjasama dengan adanya kepercayaan dan kemauan para pihak inilah yang nantinya akan menjadi landasan bagi kerjasama kemitraan sebagai upaya untuk menumbuhkembangkan usaha kecil dan menengah.
Bila dipahami dari apa yang telah dipaparkan di atas, secara yuridis landasan hukum untuk mengembangkan kerjasama kemitraan sebagai upaya untuk menumbuhkembangkan usaha kecil dan menengah dalam bisnis waralaba di Indonesia sudah cukup kuat, karena dari pengertian tentang kemitraan sebagaimana yang diatur dalam UU No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, maka sesungguhnya kerjasama atau bisnis franchise sendiri sudah merupakan suatu hubungan kemitraan.
Hal ini disebabkan karena pihak franchisor yang umumnya adalah pihak yang memiliki kapital, keahlian dalam hal manajemen, produksi dan pengolahan, pemasaran, permodalan, sumber daya manusia, dan teknologi serta operasional secara otomatis dan diperjanjikan dalam perjanjian waralaba (franchise) mempunyai kewajiban untuk memberikan pembinaan serta bimbingan kepada pihak franchisee supaya bisnis waralaba dapat menguntungkan kedua belah pihak. Selain itu kerjasama serta kemitraan dengan pola waralaba (franchise) dilakukan dengan pemberian hak penggunaan lisensi, merek dagang, dan saluran distribusi perusahaan dari pemberi waralaba (franchisor) kepada penerima waralaba (franchisee) dengan disertai bantuan bimbingan manajemen.
Yang perlu diberikan perhatian adalah supaya perjanjian waralaba (franchise) tidak hanya semata-mata diberikan kepada pengusaha yang mempunyai modal besar (pengusaha besar) saja, namun secara sukarela pihak pemegang atau pemilik franchise juga memberi kesempatan supaya bisnis franchise tersebut bisa dimiliki oleh pengusaha kecil dan menengah dengan memberikan kepercayaan (trust) kepada mereka, dengan demikian kemitraan yang sejajar dengan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan dapat dibangun berlandaskan kerjasama dengan bentuk franchise ini.
Sehubungan dengan pengembangan UKM, seorang konsultan waralaba asing Amir Karamoy mengemukakan bahwa untuk memberi nilai tambah bagi pertumbuhan ekonomi daerah serta mendorong perkembangan UKM, pemerintah harus aktif mendorong pengembangan produksi nasional dengan memanfaatkan produksi dalam negeri. Penggunaan produk dalam negeri telah membuktikan waralaba nasional atau lokal mampu bertahan dibandingkan waralaba asing yang lebih banyak menggunakan atau memasarkan produk-produk impor22.
Selain itu, salah satu keuntungan yang dapat diperoleh dengan usaha franchise ini adalah alih teknologi, kemampuan manajemen, dan kesempatan berusaha bagi Usaha Kecil sebenarnya dapat terjadi secara wajar atau alami dengan mengikuti dan melaksanakan perjanjian franchise itu sendiri. Namun memang ada ketentuan yang tetap harus diperhatikan oleh pihak penerima waralaba (franchisee) terutama yang berkaitan dengan alih teknologi dan juga perlindungan terhadap hak atas kekayaan intelektual yang dimiliki pihak pemberi waralaba (franchisor) sebagaimana ditentukan dalam undang-undang.
Untuk landasan hukum mengenai kerjasama kemitraan sendiri dapat dilihat dalam UU No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, Keputusan Presiden No. 127 Tahun 2001 tentang Bidang/Jenis Usaha yang Dicadangkan untuk Usaha Kecil dan Bidang/Jenis Usaha yang terbuka untuk Usaha Menengah atau Besar dengan Syarat Kemitraan yang menyebutkan bahwa usaha waralaba adalah salah satu usaha yang dimaksud dan terbuka untuk Usaha Menengah atau Besar dengan Syarat Kemitraan, Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1997 tentang Waralaba serta Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 12/M-DAG/PER/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba. Untuk permasalahan mengenai larangan monopoli juga sudah diatur dalam Pasal 50 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat bahwa bisnis waralaba bukan termasuk usaha yang dilarang dalam undang-undang tersebut.
E. PENUTUP
Demikian kiranya pemaparan yang dapat diberikan sehubungan dengan aspek hukum bisnis waralaba (franchise) serta pengembangan waralaba (franchise) sebagai bentuk kerjasama kemitraan untuk menumbuh kembangkan usaha kecil dan menengah di era global. Dengan berbagai ketentuan yang mengatur mengenai usaha waralaba (franchise) di Indonesia, bentuk kerjasama waralaba (franchise) ini sesungguhnya dapat digunakan sebagai alternatif untuk menumbuh kembangkan usaha kecil dan menengah di Indonesia. Dengan karakteristik bisnis waralaba (franchise) yang khas, pihak penerima waralaba (franchisee) diharapkan dapat memanfaatkan dukungan pemasaran dan operasional, dukungan untuk memulai usaha, dukungan selama beroperasi, dan ketersediaan pelatihan dan tenaga-tenaga ahli, alih teknologi serta alih manajemen dari Pemberi Waralaba (franchisor) untuk terus mengembangkan usahanya, sehingga dapat tercipta suatu bentuk kemitraan dengan prinsip memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan.
Dengan kemitraan yang sejajar yang dituangkan dalam bentuk pembinaan dan bimbingan terhadap usaha kecil dan menengah diharapkan dapat tercipta suatu usaha kecil dan menengah yang tangguh dan mandiri, memiliki daya saing tinggi dengan bertumpu pada kepercayaan dan kemampuan sendiri. Dengan memperhatikan tanggung jawab moral dan etika bisnis yang sehat, Pemberi waralaba (franchise) yang umumnya adalah Usaha Besar diharapkan dapat memberikan stimulan tanpa adanya unsur paksaan sehingga terlaksananya alih teknologi, manajemen, dan kesempatan berusaha bagi Usaha Kecil dan Menengah dapat terjadi secara wajar.

*****

DAFTAR PUSTAKA

Buku / Literatur :

Badrulzaman, Mariam Darus, Aneka Hukum Bisnis, Bandung : Alumni, 2005.

Dimyati, Khudzaifah dan Kelik Wardono, dalam Pengantar, Problema Globalisasi : Perspektif Sosiologi Hukum, Ekonomi, Agama, Surakarta : Muhammadiyah University Press, 2000.

Ibrahim, Johannes dan Lindawaty Sewu, Hukum Bisnis dalam Persepsi Manusia Modern, Bandung : Refika Aditama, 2004.

Kurniawan, Fanny, Tinjauan Yuridis Kontrak Bisnis Waralaba Domestik dengan Model Perjanjian Standar, Yogyakarta : UGM, 2003.

Lumbaturunan, Magdalena, Ensiklopedia Nasional Indonesia (ENI), Jakarta : Cipta Adi Pustaka, 1989.

Said, Bambang Pram, Tinjauan Hukum tentang Peraturan Waralaba di Indonesia, diambil dari www.ekonid.com/IND

Steger, Manfred B., Globalisme : Bangkitnya Ideologi Pasar, Yogyakarta : Lafadl Pusataka, 2005. Diterjemahkan oleh Heru Prasetia dari Globalism, the New Market Ideology, Rowman & Littlefield Publishers, Inc., USA, 2002

Subekti, Aneka Perjanjian, Cetakan Kesembilan, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1992.

________, R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Bergerlijk Wetboek), Edisi Revisi, Jakarta : Pradnya Paramita, 1999

Syahmin AK, Hukum Kontrak Internasional, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006.


Peraturan Perundang-undangan :
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil
Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1997 tentang Waralaba
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1998 tentang Oembinaan dan Pengembangan Usaha Kecil

Keputusan Presiden No. 127 Tahun 2001 tentang Bidang/Jenis Usaha yang Dicadangkan untuk Usaha Kecil dan Bidang/Jenis Usaha yang terbuka untuk Usaha Menengah atau Besar dengan Syarat Kemitraan.

Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 12/M-DAG/PER/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba.

No comments: